Pendidikan Kewarganegaraan

Nama:Ilmi Fajar Ramadhan

NIM: 2007125608

Kelas:Teknik Informatika A

 

1.HAKIKAT PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN UTUH SARJANA ATAU PROFESIONAL


Pada dasarnya pembelajaran PKn belajar tentang kennegaraan sendiri belajar menjadi lebih nasionalis/mencintai Negara sendiri sebagai seorang sarjana atau profesional maka sebagai bagian masyarakat terdidik diperlukan rasa kecintaan terhadap bangsa sendiri

Konsep dan Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pencerdasan Kehidupan Bangsa

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, program sarjana merupakan jenjang pendidikan akademik bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat sehingga mampu mengamalkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penalaran ilmiah.dan diharapkan lulusan sarjana ini memiliki moral dan intelektual seta mampu menjadi harapan bangsa kedepannya sedangkan profesional

            Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dikemukakan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dapat menjadi sumber penghasilan, perlu keahlian, kemahiran, atau kecakapan, memiliki standar mutu, ada norma dan diperoleh melalui pendidikan profesi nah maka dari itu apapun seseorang berada diindonesia mau dari sarjana ataupun professional bila memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan, maka Anda berstatus warga Negara selanjutnya warga negara dan siapakah warga negara Indonesia (WNI) itu?

            Pada dasarnya “warga negara” dapat berarti warga, anggota (member) dari sebuah negara. Warga negara adalah anggota dari sekelompok manusia yang hidup atau tinggal di wilayah hukum tertentu yang memiliki hak dan kewajiban.

            Setelah Indonesia memasuki era kemerdekaan dan era modern, istilah ini / kawula negara telah mengalami pergeseran. Istilah kawula negara sudah tidak digunakan lagi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini. Istilah “warga negara” dalam kepustakaan Inggris dikenal dengan istilah “civic”, “citizen”, atau “civicus”. Apabila ditulis dengan mencantumkan “s” di bagian belakang kata civic mejadi “civics” berarti disiplin ilmu kewarganegaraan.

Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

            Pendidikan Kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber2 pengetahuan lainnya, pengaruh2 positif dari pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua, yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan dari Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk menjadikan Warga Negara yang Baik dan Terdidik. Smart and Good Citizen

            Selanjutnya secara yuridis, istilah kewarganegaraan dan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia adalah Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara. (Undang-Undang RI No.12 Tahun 2006 Pasal 1 Ayat 2) Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. (Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003, Penjelasan Pasal 37)

Apabila PKn memang penting bagi suatu negara, apakah negara lain memiliki PKn atau Civic (Citizenship) Education? Maka dikehidupan setiap Negara memiliki nama tersendiri pendidikan kewarganegaraan nya maka dari sini jika pendidikan kewarganegaraan wajib dilakukan untuk menambah rasa nasionalisme dan cinta terhadap bangsa sendiri Berikut ini adalah istilah pendidikan kewarganegaraan hasil penelusuran Udin S. Winataputra (2006) dan diperkaya oleh Sapriya (2013) sebagai berikut:

· Pendidikan Kewarganegaraan (Indonesia)

· Civics, Civic Education (USA)

· Citizenship Education (UK)

 · Ta’limatul Muwwatanah, Tarbiyatul Watoniyah (Timteng)

· Educacion Civicas (Mexico)

· Sachunterricht (Jerman)

· Civics, Social Studies (Australia)

· Social Studies (USA, New Zealand)

· Life Orientation (Afrika Selatan)

· People and Society (Hongaria)

· Civics and Moral Education (Singapore)

· Obscesvovedinie (Rusia)

· Pendidikan Sivik (Malaysia)

· Fuqarolik Jamiyati (Uzbekistan)

· Grajdanskiy Obrazavanie (Russian-Uzbekistan)

Hakikat pendidikan kewarganegaraan dalam mengembangkan kemampuan utuh sarjana atau professional

ketentuan yang telah diatur dalam UU RI nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan UU RI nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pendidikan program sarjana diharapkan menjadi tenaga ahli profesional yang mampu menciptakan lapangan kerja.

Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia, yang dimaksud warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pendidikan Kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi, memberikan pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua, dan diharapkan peserta didik menjadi manusia yang lebih baik dan sesuai ketentuan Pancasila dan UUD RI 1945.

 

Mengapa Diperlukan Pendidikan Kewarganegaraan

Mencermati arti dan maksud pendidikan kewarganegaraan sebagaimana

yang ditegaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menekankan pada

pembentukan warga negara agar memiliki rasa kebangsaan dan cinta

tanah air

Menggali Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik tentang Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

            Pada bagian ini dijelaskan sumber-sumber pendidikan kewarganegaraan di Indonesia baik secara historis, sosiologis, maupun politis yang tumbuh, berkembang, dan berkontribusi dalam pembangunan, serta pencerdasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara hingga dapat disadari bahwa bangsa Indonesia memerlukan pendidikan kewarganegaraan.

            Karena pada kurikulum 1975 pendidikan kewarganegaraan dimunculkan dengan nama mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila disingkat PMP. Demikian pula bagi generasi tahun 1960 awal, istilah pendidikan kewarganegaraan lebih dikenal Civics. Adapun sekarang ini, berdasar Kurikulum 2013, pendidikan kewarganegaraan jenjang pendidikan dasar dan menengah menggunakan nama mata pelajaran PPKn. Perguruan tinggi menyelenggarakan mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan. PKn pada saat permulaan atau awal kemerdekaan lebih banyak dilakukan pada tataran sosial kultural dan dilakukan oleh para pemimpin negarabangsa. Dalam pidato-pidatonya, para pemimpin mengajak seluruh rakyat untuk mencintai tanah air dan bangsa Indonesia. Seluruh pemimpin bangsa membakar semangat rakyat untuk mengusir penjajah yang hendak kembali menguasai dan menduduki Indonesia yang telah dinyatakan merdeka.

            Maka dari untuk memerdekakan melawan penjanjah menjadi mush terberat bangsa Indonesia sendiri namun yang lebih sulit untuk tetap dapat menjaga dan mempertahankan kemerdekaan yang hakiki masih menjadi tujuan bangsa ini maka dari itu pembelajaran pendidikan kewarganegaraan wajib diberlakukan agar tetap dapat melawan pihak yang ingin merusak persatuan

Esensi dan Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan untuk Masa Depan

            Nah dalam bagian akhir ini kita harus berfikir tentang masa yang akan datang apakah bangsa kita mampu tetap bertahan/mempertahanlan persatuan kesatuannya dari sini kita dengan mudah membuat apa saja yang pernah terjadi dalam suatu Negara atau dengan di analisis terlebih dahulu maka dengan kita dapat membuat hasilnya tentunya cara yang paling strategis adalah melalui pendidikan  sebaga media awal bagi pemuda pemudi Indonesia untuk cinta pada tanah air

 

Sumber historis, Sosiologis, Dan Politik Tentang Pendidikan Kewarganegaraan

Hakikat dan Pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan

 

Masih ingatkah sejak kapan Anda mulai mengenal istilah pendidikan kewarganegaraan (PKn)? Bila pertanyaan ini diajukan kepada generasi yang berbeda maka jawabannya akan sangat beragam. Mungkin ada yang tidak mengenal istilah PKn terutama generasi yang mendapat mata pelajaran dalam Kurikulum 1975. Mengapa demikian? Karena pada kurikulum 1975 pendidikan kewarganegaraan dimunculkan dengan nama mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila disingkat PMP. Demikian pula bagi generasi tahun 1960 awal, istilah pendidikan kewarganegaraan lebih dikenal Civics. Adapun sekarang ini, berdasar Kurikulum 2013, pendidikan kewarganegaraan jenjang pendidikan dasar dan menengah menggunakan nama mata pelajaran PPKn. Perguruan tinggi menyelenggarakan mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan.                                                                                                      

Untuk memahami pendidikan kewarganegaraan di Indonesia, pengkajian dapat dilakukan secara historis, sosiologis, dan politis. Secara historis, pendidikan kewarganegaraan dalam arti substansi telah dimulai jauh sebelum Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka. Dalam sejarah kebangsaan Indonesia, berdirinya organisasi Boedi Oetomo tahun 1908 disepakati sebagai Hari Kebangkitan Nasional karena pada saat itulah dalam diri bangsa Indonesia mulai tumbuh kesadaran sebagai bangsa walaupun belum menamakan Indonesia. Setelah berdiri Boedi Oetomo, berdiri pula organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan lain seperti Syarikat Islam, Muhammadiyah, Indische Party, PSII, PKI, NU, dan organisasi lainnya yang tujuan akhirnya ingin melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Pada tahun 1928, para pemuda yang berasal dari wilayah Nusantara berikrar menyatakan diri sebagai bangsa Indonesia, bertanah air, dan berbahasa persatuan bahasa Indonesia.

Pada tahun 1930-an, organisasi kebangsaan baik yang berjuang secara terang-terangan maupun diam-diam, baik di dalam negeri maupun di luar negeri tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Secara umum, organisasi- organisasi tersebut bergerak dan bertujuan membangun rasa kebangsaan dan mencita-citakan Indonesia merdeka. Akhirnya Indonesia merdeka setelah melalui perjuangan panjang, pengorbanan jiwa dan raga, pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno dan Hatta, atas nama bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan, melepaskan diri dari penjajahan, bangsa Indonesia masih harus berjuang mempertahankan kemerdekaan karena ternyata penjajah belum mengakui kemerdekaan dan belum ikhlas melepaskan Indonesia sebagai wilayah jajahannya. Oleh karena itu, periode pasca kemerdekaan Indonesia, tahun1945 sampai saat ini, bangsa Indonesia telah berusaha mengisi perjuangan mempertahankan kemerdekaan melalui berbagai cara, baik perjuangan fisik maupun

 

  diplomatis. Perjuangan mencapai kemerdekaan dari penjajah telah selesai, namun tantangan untuk menjaga dan mempertahankan kemerdekaan yang hakiki belumlah selesai.

Prof. Nina Lubis (2008), seorang sejarawan menyatakan,

“... dahulu, musuh itu jelas: penjajah yang tidak memberikan ruang untuk mendapatkan keadilan, kemanusiaan, yang sama bagi warga negara, kini, musuh bukan dari luar, tetapi dari dalam negeri sendiri: korupsi yang merajalela, ketidakadilan, pelanggaran HAM, kemiskinan, ketidakmerataan ekonomi, penyalahgunaan kekuasaan, tidak menghormati harkat dan martabat orang lain, suap-menyuap, dll.”

Dari penyataan ini tampak bahwa proses perjuangan untuk menjaga eksistensi negara-bangsa, mencapai tujuan nasional sesuai cita-cita para pendiri negara-bangsa (the founding fathers), belumlah selesai bahkan masih panjang. Oleh karena itu, diperlukan adanya proses pendidikan dan pembelajaran bagi warga negara yang dapat memelihara semangat perjuangan kemerdekaan, rasa kebangsaan, dan cinta tanah air.

PKn pada saat permulaan atau awal kemerdekaan lebih banyak dilakukan pada tataran sosial kultural dan dilakukan oleh para pemimpin negara- bangsa. Dalam pidato-pidatonya, para pemimpin mengajak seluruh rakyat untuk mencintai tanah air dan bangsa Indonesia. Seluruh pemimpin bangsa membakar semangat rakyat untuk mengusir penjajah yang hendak kembali menguasai dan menduduki Indonesia yang telah dinyatakan merdeka. Pidato-pidato dan ceramah-ceramah yang dilakukan oleh para pejuang, serta kyai-kyai di pondok pesantren yang mengajak umat berjuang mempertahankan tanah air merupakan PKn dalam dimensi sosial kultural. Inilah sumber PKn dari aspek sosiologis. PKn dalam dimensi sosiologis sangat diperlukan oleh masyarakat dan akhirnya negara-bangsa untuk menjaga, memelihara, dan mempertahankan eksistensi negara-bangsa.

Upaya pendidikan kewarganegaraan pasca kemerdekaan tahun 1945 belum dilaksanakan di sekolah-sekolah hingga terbitnya buku Civics pertama di Indonesia yang berjudul Manusia dan Masjarakat Baru Indonesia (Civics) yang disusun bersama oleh Mr. Soepardo, Mr. M. Hoetaoeroek, Soeroyo Warsid, Soemardjo, Chalid Rasjidi, Soekarno, dan Mr. J.C.T. Simorangkir. Pada cetakan kedua, Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, Prijono (1960), dalam sambutannya menyatakan bahwa setelah keluarnya dekrit Presiden kembali kepada UUD 1945 sudah

 

  Secara politis, pendidikan kewarganegaraan mulai dikenal dalam pendidikan sekolah dapat digali dari dokumen kurikulum sejak tahun 1957 sebagaimana dapat diidentifikasi dari pernyataan Somantri (1972) bahwa pada masa Orde Lama mulai dikenal istilah: (1) Kewarganegaraan (1957); (2) Civics (1962); dan (3) Pendidikan Kewargaan Negara (1968). Pada masa awal Orde Lama sekitar tahun 1957, isi mata pelajaran PKn membahas cara pemerolehan dan kehilangan kewarganegaraan, sedangkan dalam Civics (1961) lebih banyak membahas tentang sejarah Kebangkitan Nasional, UUD, pidato-pidato politik kenegaraan yang terutama diarahkan untuk "nation and character building” bangsa Indonesia.

Bagaimana sumber politis PKn pada saat Indonesia memasuki era baru, yang disebut Orde Baru? Pada awal pemerintahan Orde Baru, Kurikulum sekolah yang berlaku dinamakan Kurikulum 1968. Dalam kurikulum tersebut di dalamnya tercantum mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara. Dalam mata pelajaran tersebut materi maupun metode yang bersifat indoktrinatif dihilangkan dan diubah dengan materi dan metode pembelajaran baru yang dikelompokkan menjadi Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila, sebagaimana tertera dalam Kurikulum Sekolah Dasar (SD) 1968 sebagai berikut.

“Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila ialah Kelompok segi pendidikan yang terutama ditujukan kepada pembentukan mental dan moral Pancasila serta pengembangan manusia yang sehat dan kuat fisiknya dalam rangka pembinaan Bangsa.

Sebagai alat formil dipergunakan segi pendidikan-pendidikan: Pendidikan Agama, Pendidikan Kewargaan Negara, pendidikan Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah dan Olahraga. Pendidikan Agama diberikan secara intensif sejak dari kelas I sampai kelas VI dan tidak dapat diganti pendidikan budi pekerti saja.

Begitu pula, Pendidikan Kewargaan Negara, yang mencakup sejarah Indonesia, Ilmu Bumi, dan Pengetahuan Kewargaan Negara, selama masa pendidikan yang enam tahun itu diberikan terus menerus. Sedangkan Bahasa Indonesia dalam kelompok ini mendapat tempat yang penting sekali, sebagai alat pembina cara

 

  berpikir dan kesadaran nasional. Sedangkan Bahasa Daerah digunakan sebagai langkah pertama bagi sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa pengantar sampai kelas III dalam membina jiwa dan moral Pancasila. Olahraga yang berfungsi sebagai pembentuk manusia Indonesia yang sehat rohani dan jasmaninya diberikan secara teratur semenjak anak-anak menduduki bangku sekolah."

Dalam Kurikulum 1968, mata pelajaran PKn merupakan mata pelajaran wajib untuk SMA. Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan korelasi, artinya mata pelajaran PKn dikorelasikan dengan mata pelajaran lain, seperti Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, Hak Asasi Manusia, dan Ekonomi, sehingga mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara menjadi lebih hidup, menantang, dan bermakna.

Kurikulum Sekolah tahun l968 akhirnya mengalami perubahan menjadi Kurikulum Sekolah Tahun 1975. Nama mata pelajaran pun berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila dengan kajian materi secara khusus yakni menyangkut Pancasila dan UUD 1945 yang dipisahkan dari mata pelajaran sejarah, ilmu bumi, dan ekonomi. Hal-hal yang menyangkut Pancasila dan UUD 1945 berdiri sendiri dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP), sedangkan gabungan mata pelajaran Sejarah, Ilmu Bumi dan Ekonomi menjadi mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (lPS).

Pada masa pemerintahan Orde Baru, mata pelajaran PMP ditujukan untuk membentuk manusia Pancasilais. Tujuan ini bukan hanya tanggung jawab mata pelajaran PMP semata. Sesuai dengan Ketetapan MPR, Pemerintah telah menyatakan bahwa P4 bertujuan membentuk Manusia Indonesia Pancasilais. Pada saat itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) telah mengeluarkan Penjelasan Ringkas tentang Pendidikan Moral Pancasila (Depdikbud, 1982), dan mengemukakan beberapa hal penting sebagai berikut.

 

  “Pendidikan Moral Pancasila (PMP) secara konstitusional mulai dikenal dengan adanya TAP MPR No. lV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara dan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Dengan adanya Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Paneasila (P4), maka materi PMP didasarkan pada isi P4 tersebut. Oleh karena itu, TAP MPR No. II/ MPR/1978 merupakan penuntun dan pegangan hidup bagi sikap dan tingkah laku setiap manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat serta bernegara. Selanjutnya TAP MPR No. II/MPR?1978 dijadikanlah sumber, tempat berpijak, isi, dan evaluasi PMP. Dengan demikian, hakikat PMP tiada lain adalah pelaksanaan P4 melalui jalur pendidikan formal. Di samping pelaksanaan PMP di sekolah-sekolah, di dalam masyarakat umum giat diadakan usaha pemasyarakatan P4 lewat berbagai penataran. “... dalam rangka menyesuaikan Kurikulum 1975 dengan P4 dan GBHN 1978, ... mengusahakan adanya buku pegangan bagi murid dan guru Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) ... usaha itu yang telah menghasilkan Buku Paket PMP...."

Sesuai dengan perkembangan iptek dan tuntutan serta kebutuhan masyarakat, kurikulum sekolah mengalami perubahan menjadi Kurikulum 1994. Selanjutnya nama mata pelajaran PMP pun mengalami perubahan menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang terutama didasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada ayat 2 undang- undang tersebut dikemukakan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat: (1) Pendidikan Pancasila; (2) Pendidikan Agama; dan (3) Pendidikan Kewarganegaraan.

Pasca Orde Baru sampai saat ini, nama mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan kembali mengalami perubahan. Perubahan tersebut dapat diidentifikasi dari dokumen mata pelajaran PKn (2006) menjadi mata pelajaran PPKn (2013). Untuk lebih mendalami keduanya, buatlah perbandingan dua dokumen kurikulum tersebut.

 

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa secara historis, PKn di Indonesia senantiasa mengalami perubahan baik istilah maupun substansi sesuai dengan perkembangan peraturan perundangan, iptek, perubahan masyarakat, dan tantangan global. Secara sosiologis, PKn Indonesia sudah sewajarnya mengalami perubahan mengikuti perubahan yang terjadi di masyarakat. Secara politis, PKn Indonesia akan terus mengalami perubahan sejalan dengan perubahan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan, terutama perubahan konstitusi.

MATERI PERTEMUAN 4

1. Bendera negara Sang Merah Putih

Bendera warna merah putih dikibarkan pertama kali pada tanggal 17 Agustus 1945 namun telah ditunjukkan pada peristiwa Sumpah Pemuda Tahun 1928. Bendera Negara yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta disebut Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih. Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih saat ini disimpan dan dipelihara di Monumen Nasional Jakarta.

2. Bahasa Negara Bahasa Indonesia

 Ketentuan tentang Bahasa Negara diatur dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2009 mulai Pasal 25 sampai Pasal 45. Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara merupakan hasil kesepakatan para pendiri NKRI. Bahasa Indonesia berasal dari rumpun bahasa Melayu yang dipergunakan sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) dan kemudian diangkat dan diikrarkan sebagai bahasa persatuan pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Bangsa Indonesia sepakat bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional sekaligus sebagai jati diri dan identitas nasional Indonesia.

3. Lambang Negara Garuda Pancasila                                               

Garuda adalah burung khas Indonesia yang dijadikan lambang negara. Di tengah-tengah perisai burung Garuda terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan khatulistiwa. Pada perisai terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut:

a. dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima;

b. dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai;

c. dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai;

d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai; dan

e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan atas perisai.

Dengan demikian, lambang negara Garuda Pancasila mengandung makna simbol sila-sila Pancasila. Dengan kata lain, Lambang Negara yang dilukiskan dengan seekor burung Garuda merupakan satu kesatuan dengan Pancasila. Artinya, lambang negara tidak dapat dipisahkan dari dasar negara Pancasila.

4. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya

Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan pertama kali dinyanyikan pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Lagu Indonesia Raya selanjutnya menjadi lagu kebangsaan yang diperdengarkan pada setiap upacara kenegaraan.

5. Semboyan Negara Bhinneka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Ika artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Semboyan ini dirumuskan oleh para the founding fathers mengacu padakondisi masyarakat Indonesia yang sangat pluralis yang dinamakan oleh Herbert Feith (1960), seorang Indonesianist yang menyatakan bahwa Indonesia sebagai mozaic society. Seperti halnya sebuah lukisan mozaic yang beraneka warna namun karena tersusun dengan baik maka keanekaragaman tersebut dapat membentuk keindahan sehingga dapat dinikmati oleh siapa pun yang melihatnya. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mengandung makna juga bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen, tak ada negara atau bangsa lain yang menyamai Indonesia dengan keanekaragamannya, namun tetap berkeinginan untuk menjadi satu bangsa yaitu bangsa Indonesia.

 

6. Dasar Falsafah Negara Pancasila Pancasila memiliki sebutan atau fungsi dan kedudukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pancasila berfungsi sebagai dasar negara, ideologi nasional, falsafah negara, pandangan hidup bangsa, way of life, dan banyak lagi fungsi Pancasila. Rakyat Indonesia menganggap bahwa Pancasila sangat penting karena keberadaannya dapat menjadi perekat bangsa, pemersatu bangsa, dan tentunya menjadi identitas nasional. Mengapa Pancasila dikatakan sebagai identitas nasional yang unik sebagaimana telah disebutkan sebelumnya? Pancasila hanya ada di Indonesia. Pancasila telah menjadi kekhasan Indonesia, artinya Pancasila menjadi penciri bangsa Indonesia. Siapa pun orang Indonesia atau yang mengaku sebagai warga negara Indonesia, maka ia harus punya pemahaman, bersikap, dan berperilaku sesuai dengan Pancasila. Dengan kata lain, Pancasila sebagai identitas nasional memiliki makna bahwa seluruh rakyat Indonesia seyogianya menjadikan Pancasila sebagai landasan berpikir, bersikap, dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Cara berpikir, bersikap, dan berperilaku bangsa Indonesia tersebut menjadi pembeda dari cara berpikir, bersikap, dan berperilaku bangsa lain.

Pancasila sebagai identitas nasional tidak hanya berciri fisik sebagai simbol atau lambang, tetapi merupakan identitasnon fisik atau sebagai jati diri bangsa. Pancasila sebagai jati diri bangsa bermakna nilai-nilai yang dijalankan manusia Indonesia akan mewujud sebagai kepribadian, identitas, dan keunikan bangsa Indonesia.

D. Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Identitas Nasional Indonesia

dinamika kehidupan yang sekaligus menjadi tantangan terkait dengan masalah identitas nasional Indonesiasejumlah kasus dan peristiwa dalam kehidupan sehari-hari seperti yang pernah kita

1. Lunturnya nilai-nilai luhur dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara (contoh: rendahnya semangat gotong royong, kepatuhan hukum, kepatuhan membayar pajak, kesantunan, kepedulian, dan lainlain)

2. Nilai –nilai Pancasila belum menjadi acuan sikap dan perilaku sehari-hari (perilaku jalan pintas, tindakan serba instan, menyontek, plagiat, tidakdisiplin, tidak jujur, malas, kebiasaan merokok di tempat umum, buang sampah sembarangan, dan lain-lain)

3. Rasa nasionalisme dan patriotisme yang luntur dan memudar (lebih menghargai dan mencintai bangsa asing, lebih mengagungkan prestasi bangsa lain dan tidak bangga dengan prestasi bangsa sendiri, lebih bangga menggunakan produk asing daripada produk bangsa sendiri, dan lain-lain)

4. Lebih bangga menggunakan bendera asing dari pada bendera merah putih, lebih bangga menggunakan bahasa asing daripada menggunakan bahasa Indonesia.

 

Tantangan dan masalah yang dihadapi terkait dengan Pancasila telah banyak mendapat tanggapan dan analisis sejumlah pakar. Seperti Azyumardi Azra (Tilaar, 2007), menyatakan bahwa saat ini Pancasila sulit dan dimarginalkan di dalam semua kehidupan masyarakat Indonesia karena: (1) Pancasila dijadikan sebagai kendaraan politik; (2) adanya liberalisme politik; dan (3) lahirnya desentralisasi atau otonomi daerah.

Menurut Tilaar (2007), Pancasila telah terlanjur tercemar dalam era Orde Baru yang telah menjadikan Pancasila sebagai kendaraan politik untuk mempertahankan kekuasaan yang ada. Liberalisme politik terjadi pada saat awal reformasi yakni pada pasca pemerintahan Orde Baru. Pada saat itu, ada kebijakan pemerintahan Presiden Habibie yang menghapuskan ketentuan tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas untuk organisasi kemasyarakatan termasuk organisasi partai politik. Sedangkan, lahirnya peraturan perundangan tentang desentralisasi dan otonomi daerah seperti lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui menjadi Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah telah berdampak positif dan negatif. Dampak negatifnya antara lain munculnya nilai-nilai primordialisme kedaerahan sehingga tidak jarang munculnya rasa kedaerahan yang sempit.

Selanjutnya, tentang luntur dan memudarnya rasa nasionalisme dan patriotisme perlu mendapat perhatian. Apa yang menjadi penyebab masalah ini? Apabila orang lebih menghargai dan mencintai bangsa asing, tentu perlu dikaji aspek/bidang apa yang dicintai tersebut. tersebut beralih kepada bangsa sendiri. Demikian pula, apabila orang Indonesia lebih mengagungkan prestasi bangsa lain dan tidak bangga dengan prestasi bangsa sendiri, sebenarnya sesuatu yang aneh. Hal ini perlu ada upaya dari generasi baru bangsa Indonesia untuk mendorong agar bangsa Indonesia membuat prestasi yang tidak dapat dibuat oleh bangsa asing. Demikian pula, apabila orang Indonesia lebih bangga menggunakan produk asing daripada produk bangsa sendiri, hendaknya bangsa Indonesia mampu mendorong semangat berkompetisi. Intinya, bangsa Indonesia perlu didorong agar menjadi bangsa yang beretos kerja tinggi, rajin, tekun, ulet, tidak malas, serta menjunjung tinggi nilai kejujuran. Semua nilai-nilai tersebut telah tercakup dalam Pancasila sehingga pada akhirnya semua permasalahan akan terjawab apabila bangsa Indonesia mampu dan berkomitmen untuk mengamalkan Pancasila.

Pada hakikatnya, semua unsur formal identitas nasional, baik yang langsung maupun secara tidak langsung diterapkan, perlu dipahami, diamalkan, dan diperlakukan sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Permasalahannya terletak pada sejauh mana warga negara Indonesia memahami dan menyadari dirinya sebagai warga negara yang baik yang beridentitas sebagai warga negara Indonesia.

 

NILAI DAN NORMA KONSTITUSIONAL UUD NRI 1945 DAN KONSTITUSIONALITAS KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BAWAH UUD

Dalam hidup bernegara, Anda dapat menemukan beberapa aturan yang mengatur bagaimana pemerintahan dijalankan. Misalnya, siapa yang menjalankan kekuasaan pemerintahan dan bagaimana kekuasaan tersebut diperoleh. Anda juga dapat menemukan adanya beberapa aturan yang sama sekali tidak berhubungan dengan cara-cara pemerintahan dijalankan. Pada saat Anda menemukan aturan atau hukum yang berisi ketentuan yang mengatur bagaimana pemerintah dijalankan, artinya Anda telah menemukan bagian atau isi dari konstitusi. Menelusuri Konsep dan Urgensi Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa-Negara Pernahkah Anda mendengar istilah konstitusi? Tentu saja pernah, bukan? Pada saat Anda mempelajari mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah istilah tersebut kerap kali dibahas

Contoh Aturan

1.    Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

2.    Jangan berbicara saat mulut penuh makanan.

3.    Menyeberanglah pada zebra cross dengan tertib dan hati-hati.

4.    Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya

5.    Selesaikanlah pekerjaan rumahmu sebelum bermain ke luar rumah.

6.    Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan

7.    Seseorang baru diperbolehkan memiliki surat izin mengemudi apabila sekurangkurangnya telah berusia 16 tahun

 

Pada saat Anda menemukan aturan atau hukum yang berisi ketentuan yang mengatur bagaimana pemerintah dijalankan, artinya Anda telah menemukan bagian dari konstitusi. Konstitusi adalah seperangkat aturan atau hukum yang berisi ketentuan tentang bagaimana pemerintah diatur dan dijalankan. Oleh karena aturan atau hukum yang terdapat dalam konstitusi itu mengatur hal-hal yang amat mendasar dari suatu negara, maka konstitusi dikatakan pula sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Selanjutnya mari kita telusuri konsep konstitusi dari segi bahasa atau asal katanya (secara etimologis). Istilah konstitusi dikenal dalam sejumlah bahasa, misalnya dalam bahasa Prancis dikenal dengan istilah constituer, dalam bahasa Latin/Italia digunakan istilah constitutio, dalam bahasa Inggris digunakan istilah constitution, dalam bahasa Belanda digunakan istilah constitutie, dalam bahasa Jerman dikenal dengan istilah verfassung, sedangkan dalam bahasa Arab digunakan istilah masyrutiyah (Riyanto, 2009). Constituer (bahasa Prancis) berarti membentuk, pembentukan. Yang dimaksud dengan membentuk di sini adalah membentuk suatu negara. Kontitusi mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai suatu negara atau dengan kata lain bahwa konstitusi mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai negara (Prodjodikoro, 1970), pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara (Lubis, 1976),

Definisi Konstitusi

Lord James Bryce: “… a constitution as a frame of political society, organized through and by law, that is to say, one which in law has stablished permanent institutions with recognized function and definite rights

(CF Strong, 1960). C.F. Strong: “…. a constitution may be said to be a collection of principles according to which the power of the government, the rights of governed, and the relations between the two are adjusted (1960).

Aristoteles: Constitution variously as a community of interests that the citizen of a state have in common, as the common way of lving, that a state has chosen, and as in fact the government

 (Djahiri, 1971. Pada bagian lain Aristoteles merumuskan: A constitution is an organization of offices in a city, by which the method of their distribution is fixed, the souvereign authority is determined, and the nature of the end to be pursued---by the association and all its members is prescribed (Barker, 1988)

Merujuk pandangan Lord James Bryce yang dimaksud dengan konstitusi adalah suatu kerangka negara yang diorganisasikan melalui dan dengan hukum, yang menetapkan lembaga-lembaga yang tetap dengan mengakui fungsi-fungsi dan hak-haknya. Pendek kata bahwa konstitusi itu menurut pandangannya merupakan kerangka negara yang diorganisasikan melalui dan dengan hukum, yang menetapkan lembaga-lembaga yang tetap (permanen), dan yang menetapkan fungsi-fungsi dan hak-hak dari lembaga-lembaga permanen tersebut. Sehubungan dengan itu C.F. Strong yang menganut paham modern secara tegas menyamakan pengertian konstitusi dengan undang-undang dasar. Rumusan yang dikemukakannya adalah konstitusi itu merupakan satu kumpulan asas-asas mengenai kekuasaan pemerintah, hak-hak yang diperintah, dan hubungan antara keduanya (pemerintah dan yang diperintah dalam konteks hak-hak asasi manusia). Konstitusi semacam ini dapat diwujudkan dalam sebuah dokumen yang dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman, tetapi dapat pula berupa a bundle of separate laws yang diberi otoritas sebagai hukum tata negara. Rumusan C.F. Strong ini pada dasarnya sama dengan definisi Bolingbroke (Astim Riyanto, 2009).

Fungsi Konstitusi

1. Konstitusi berfungsi sebagai landasan kontitusionalisme. Landasan konstitusionalisme adalah landasan berdasarkan konstitusi, baik konstitusi dalam arti luas maupun konstitusi dalam arti sempit. Konstitusi dalam arti luas meliputi undang-undang dasar, undang-undang organik, peraturan perundang-undangan lain, dan konvensi. Konstitusi dalam arti sempit berupa Undang-Undang Dasar (Astim Riyanto, 2009).

2. Konstitusi berfungsi untuk membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, diharapkan hak-hak warganegara akan lebih terlindungi. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme, yang oleh Carl Joachim Friedrich dijelaskan sebagai gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah (Thaib dan Hamidi, 1999).

3. Konstitusi berfungsi: (a) membatasi atau mengendalikan kekuasaan penguasa agar dalam menjalankan kekuasaannya tidak sewenang-wenang terhadap rakyatnya; (b) memberi suatu rangka dasar hukum bagi perubahan masyarakat yang dicitacitakan tahap berikutnya; (c) dijadikan landasan penyelenggaraan negara menurut suatu sistem ketatanegaraan tertentu yang dijunjung tinggi oleh semua warga negaranya; (d) menjamin hak-hak asasi warga negara.

Perlunya Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa-Negara Indonesia Dari kegiatan menelusuri konsep dan urgensi kostitusi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara tentu saja Anda dapat menemukan persoalan dalam bentuk pertanyan yang harus dijawab lebih lanjut

Menggali Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik tentang Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa-Negara Indonesia

Apakah ada negara yang tidak memiliki konstitusi? Jika ada, apa yang akan terjadi dengan kehidupan negara tersebut? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kita perlu memulainya dari penelusuran historis dengan memahami pandangan Thomas Hobbes (1588-1879). Dari pandangan ini, kita akan dapat memahami, mengapa manusia dalam bernegara membutuhkan konstitusi. Menurut Hobbes, manusia pada “status naturalis” bagaikan serigala. Hingga timbul

adagium homo homini lupus (man is a wolf to [his fellow] man), artinya yang kuat mengalahkan yang lemah. Lalu timbul pandangan bellum omnium contra omnes (perang semua lawan semua). Hidup dalam suasana demikian pada akhirnya menyadarkan manusia untuk membuat perjanjian antara sesama manusia, yang dikenal dengan istilah factum unionis. Selanjutnya timbul perjanjian rakyat menyerahkan kekuasaannya kepada penguasa untuk menjaga perjanjian rakyat yang dikenal dengan istilah factum subjectionis. Dalam bukunya yang berjudul Leviathan (1651) ia mengajukan suatu argumentasi tentang kewajiban politik yang disebut kontrak sosial yang mengimplikasikan pengalihan kedaulatan kepada primus inter pares yang kemudian berkuasa secara mutlak (absolut). Primus inter pares adalah yang utama di antara sekawanan (kumpulan) atau orang terpenting dan menonjol di antara orang yang derajatnya sama. Negara dalam pandangan Hobbes cenderung seperti monster Leviathan.

Pandangan inilah yang mendorong munculnya raja-raja tiran. Dengan mengatasnamakan primus inter pares dan wakil Tuhan di bumi mereka berkuasa sewenang-wenang dan menindas rakyat. Salah satu contoh raja yang berkuasa secara mutlak adalah Louis XIV, raja Perancis yang dinobatkan pada 14 Mei 1643 dalam usia lima tahun. Ia baru mulai berkuasa penuh sejak wafatnya menteri utamanya, Jules Cardinal Mazarin pada tahun 1661. Louis XIV dijuluki sebagai Raja Matahari (Le Roi Soleil) atau Louis yang Agung (Louis le Grand, atau Le Grand Monarque). Ia memerintah Perancis selama 72 tahun, masa kekuasaan terlama monarki di Perancis dan bahkan di Eropa. Louis XIV meningkatkan kekuasaan Perancis di Eropa melalui tiga peperangan besar: Perang Perancis-Belanda, Perang Aliansi Besar, dan Perang Suksesi Spanyol antara 1701-1714. Louis XIV berhasil menerapkan absolutisme dan negara terpusat. Ungkapan "L'État, c'est moi" ("Negara adalah saya") sering dianggap berasal dari dirinya, walaupun ahli sejarah berpendapat hal ini tak tepat dan kemungkinan besar ditiupkan oleh lawan politiknya sebagai perwujudan stereotipe absolutisme yang dia anut. Seorang penulis Perancis, Louis de Rouvroy, bahkan mengaku bahwa ia mendengar Louis XIV berkata sebelum ajalnya: "Je m'en vais, mais l'État demeurera toujours" ("saya akan pergi, tapi negara akan tetap ada"). Akibat pemerintahannya yang absolut, Louis XIV berkuasa dengan sewenangwenang, hal itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan yang luar biasa pada rakyat. Sepeninggal dirinya, kekuasaannya yang mutlak dilanjutkan oleh raja-raja berikutnya hingga Louis XVI. Kekuasaan Louis XVI akhirnya dihentikan dan dia ditangkap pada Revolusi 10 Agustus, dan akhirnya

dihukum dengan Guillotine untuk dakwaan pengkhianatan pada 21 Januari 1793, di hadapan para penonton yang menyoraki hukumannya. Gagasan untuk membatasi kekuasaan raja atau dikenal dengan istilah konstitusionalisme yang mengandung arti bahwa penguasa perlu dibatasi kekuasaannya dan karena itu kekuasaannya harus diperinci secara tegas, sebenarnya sudah muncul sebelum Louis XVI dihukum dengan Guillotine. Dapatkah Anda menjelaskan peristiwa mana yang mengawali tonggak sejarah tersebut? Coba arahkan ingatan Anda pada sejarah perjuangan dalam menegakkan hak asasi manusia (HAM). setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Inilah alasan mengapa diperlukan konstitusi dalam kehidupan berbangsa-negara Indonesia, yakni untuk membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak memerintah dengan sewenang-wenang. Konstitusi juga diperlukan untuk membagi kekuasaan dalam negara. Pandangan ini didasarkan pada fungsi konstitusi yang salah satu di antaranya adalah membagi kekuasaan dalam negara (Kusnardi dan Ibrahim, 1988). Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggap sebagai organisasi kekuasaan maka konstitusi dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi di antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Konstitusi menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasan itu bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain serta merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam negara.

Hal-hal yang dimuat dalam konstitusi atau UUD

 a. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif: Pada negara federal, pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara-negara bagian, dan tentang prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintahan.

b. Hak-hak asasi manusia. Dalam UUD NRI Tahun 1945, misalnya diatur secara khusus dalam BAB XA, Pasal 28A sampai Pasal 28 J.

c. Prosedur mengubah UUD. Dalam UUD NRI Tahun 1945, misalnya diatur secara khusus dalam BAB XVI, Pasal 37 tentang Perubahan Undang-Undang Dasar.

d. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD. Hal ini biasanya terdapat jika para penyusun UUD ingin menghindari terulangnya kembali hal-hal yang baru saja diatasi, seperti misalnya munculnya seorang diktator atau kembalinya suatu monarki. UUD Federal Jerman melarang untuk mengubah sifat federalisme dari UUD oleh karena dikuatirkan bahwa sifat unitarisme dapat melicinkan jalan untuk munculnya kembali seorang diktator seperti Hitler. Dalam UUD NRI 1945, misalnya diatur mengenai ketetapan bangsa Indonesia untuk tidak akan mengubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 37, Ayat 5).

e. Memuat cita-cita rakyat dan asas-asas ideologi negara. Ungkapan ini mencerminkan semangat (spirit) yang oleh penyusun UUD ingin diabadikan dalam UUD sehingga mewarnai seluruh naskah UUD itu. Misalnya, UUD Amerika Serikat menonjolkan keinginan untuk memperkokoh penggabungan 13 koloni dalam suatu Uni, menegaskan dalam Permulaan UUD: “Kami, rakyat Amerika Serikat, dalam keinginan untuk membentuk suatu Uni yang lebih sempurna... menerima UUD ini untuk Amerika Serikat”. Begitu pula UUD India menegaskan:

 

maka kita mempunyai dua macam pengertian tentang konstitusi itu, yaitu konstitusi dalam arti sempit dan konstitusi dalam arti luas. a. Dalam arti sempit, konstitusi merupakan suatu dokumen atau seperangkat dokumen yang berisi aturan-aturan dasar untuk menyelenggarakan negara. b. Dalam arti luas, konstitusi merupakan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang menentukan bagaimana lembaga negara dibentuk dan dijalankan.

Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa-Negara Indonesia

UUD NRI 1945 mulai berlaku sebagai hukum dasar yang mengatur kehidupan ketatanegaraan Indonesia dengan segala keterbatasannya. Mengapa demikian, karena sejak semula UUD NRI 1945 oleh Bung Karno sendiri dikatakan sebagai UUD kilat yang akan terus disempurnakan pada masa yang akan datang. Dinamika

Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa-Negara

hasil perubahan UUD NRI 1945 itu? Setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya MPR RI berhasil melakukan perubahan UUD NRI 1945. Perubahan UUD NRI 1945 yang pada mulanya merupakan tuntutan reformasi, dalam perjalanannya telah menjadi kebutuhan seluruh komponen bangsa. Jadi, tidak heran jika dalam proses perubahan UUD NRI 1945, seluruh komponen bangsa berpartisipasi secara aktif. Dalam empat kali masa sidang MPR, UUD NRI 1945 mengalami perubahan

Hasil perubahan UUD NRI 1945

a. Perubahan Pertama UUD NRI 1945 dihasilkan pada Sidang Umum MPR 1999 (tanggal 14 sampai 21 Oktober 1999).

b. Perubahan Kedua UUD NRI 1945 dihasilkan pada Sidang Tahunan MPR 2000 (tanggal 7 sampai 18 Agustus 2000).

c. Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 dihasilkan pada Sidang Tahunan MPR

d. 2001 (tanggal 1 sampai 9 November 2001)

e. Perubahan Keempat UUD NRI 1945 dihasilkan pada Sidang Tahunan MPR 2002 (tanggal 1 sampai 11 Agustus 2002). Sumber: Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI 1945, Buku I

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, asal kata konstitusi dalam bahasa Perancis adalah constituer yang berarti membentuk atau pembentukan. Yang dimaksud dengan membentuk di sini adalah membentuk suatu negara. Oleh karena itu, konstitusi berarti menjadi dasar pembentukan suatu negara. Dengan demikian dapat dikatakan tanpa konstitusi, negara tidak mungkin terbentuk. Konstitusi menempati posisi yang sangat krusial dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara. Hamid S. Attamimi, berpendapat bahwa pentingnya suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar adalah sebagai pemberi pegangan dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan. UUD NRI 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia memiliki kedudukan sebagai hukum tertinggi dan hukum dasar negara. Sebagai hukum tertinggi negara, UUD NRI 1945 menduduki posisi paling tinggi dalam jenjang norma hukum di Indonesia. Sebagai hukum dasar, UUD NRI 1945 merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawahnya.

Indonesia sebagai negara yang menganut sistem tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) seyogyanya menerapkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Benarkah demikian? Jika benar demikian, artinya Pemerintah berkewajiban menjelaskan secara transparan kemana saja uang pajak yang telah dibayarkan tersebut dan untuk apa uang tersebut dipergunakan? Apakah Anda sependapat dengan pernyataan tersebut? Tahukah Anda tentang lembaga yang memiliki otoritas memungut pajak di Indonesia? Bagaimana mekanisme pembayaran pajak? Ke mana para wajib pajak harus membayar pajak tersebut? Bagaimana alur pengalokasian pajak berdasarkan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara? Benarkah uang pajak digunakan untuk membiayai program kerja baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah? Bagaimana mekanisme pembiayaannya? Selain itu, ada juga skema subsidi Pemerintah Pusat yang tujuannya untuk mengurangi beban masyarakat. Pahamkah Anda besarnya manfaat pajak dan betapa pentingnya sumbangsih Anda melalui membayar pajak? Lembaga yang memiliki otoritas memungut pajak di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk "Pajak Pusat" dan Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Aset Daerah (DPPKAD) atau nama lain yang sejenis untuk "Pajak Daerah". Sesuai dengan amanat undang-undang lembaga ini bertugas menghimpun penerimaan pajak. Apakah lembaga ini menerima pembayaran uang pajak langsung dari Wajib Pajak? Ternyata tidak demikian. DJP maupun DPPKAD tidak menerima pembayaran uang pajak langsung dari Wajib Pajak, melainkan hanya mengadministrasikan pembayaran pajaknya saja. Wajib Pajak harus membayar pajak ke Kantor Pos atau bank-bank yang ditunjuk oleh Pemerintah. Dengan demikian, uang pajak yang dibayarkan oleh Wajib Pajak langsung masuk ke rekening kas negara untuk Pajak Pusat dan rekening kas daerah untuk Pajak Daerah. Selanjutnya, untuk Pajak Pusat, melalui Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), penerimaan pajak pusat dialokasikan untuk membiayai program kerja yang dikelola oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah (Pemda). Sedangkan, untuk Pajak Daerah, melalui pembahasan APBD yang dilakukan oleh Pemda dan DPRD, penerimaan Pajak Daerah dialokasikan untuk membiayai program kerja Pemerintah Daerah. Program kerja pemerintah pusat dibiayai melalui skema Daftar Isian Pelaksanaan Kegiatan (DIPA) masing-masing Kementerian dan Lembaga Negara. Adapun alokasi untuk Pemerintah Daerah, dijalankan melalui skema "Transfer ke Daerah" melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil. Selain itu, ada juga skema subsidi Pemerintah Pusat yang tujuannya untuk mengurangi beban masyarakat. Perhatikan Gambar IV.8 Ihwal alur penerimaan dan penggunaan APBN terkait pajak

Rangkuman tentang Konstitusi dalam Kehidupan BerbangsaNegara Indonesia

1.    Dalam arti sempit konstitusi merupakan suatu dokumen atau seperangkat dokumen yang berisi aturan-aturan dasar untuk menyelenggarakan negara, sedangkan dalam arti luas konstitusimerupakan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang menentukan bagaimana lembaga negara dibentuk dan dijalankan.

2. Konstitusi diperlukan untuk membatasi kekuasaan pemerintah atau penguasa negara, membagi kekuasaan negara, dan memberi jaminan HAM bagi warga negara.

3. Konstitusi mempunyai materi muatan tentang organisasi negara, HAM, prosedur mengubah UUD, kadang-kadang berisi larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD, cita-cita rakyat dan asas-asas ideologi negara.

4. Pada awal era reformasi, adanya tuntutan perubahan UUD NRI 1945 didasarkan pada pandangan bahwa UUD NRI 1945 belum cukup memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan terhadap HAM. Di samping itu, dalam tubuh UUD NRI 1945 terdapat pasal-pasal yang menimbulkan penafsiran beragam (multitafsir) dan membuka peluang bagi penyelenggaraan negara yang otoriter, sentralistik, tertutup, dan praktik KKN.

5. Dalam perkembangannya, tuntutan perubahan UUD NRI 1945 menjadi kebutuhan bersama bangsa Indonesia. Oleh karena itu, MPR melakukan perubahan secara bertahap dan sistematis dalam empat kali perubahan. Keempat kali perubahan tersebut harus dipahami sebagai satu rangkaian dan satu kesatuan.

6. Dasar pemikiran perubahan UUD NRI 1945 adalah kekuasaan tertinggi di tangan MPR, kekuasaan yang sangat besar pada presiden, pasalpasal yang terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan multitafsir, kewenangan pada presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang, dan rumusan UUD NRI 1945 tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang sesuai dengan tuntutan reformasi.

7. Awal proses perubahan UUD NRI 1945 adalah pencabutan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum, pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI, dan Ketetapan MPR mengenai Hak Asasi Manusia mengawali perubahan UUD NRI 1945.

telah disusun secara sistematis dan lengkap pada masa sidang MPR tahun 1999-2000 tidak seluruhnya dapat dibahas dan diambil putusan. (c) Hal itu berarti bahwa perubahan UUD NRI 1945 dilaksanakan secara sistematis berkelanjutan karena senantiasa mengacu dan berpedoman pada materi rancangan yang telah disepakati sebelumnya.

8.Dari proses perubahan UUD NRI 1945, dapat diketahui hal-hal sebagai berikut: (a) Perubahan UUD NRI 1945 dilakukan oleh MPR dalam satu kesatuan perubahan yang dilaksanakan dalam empat tahapan, yakni pada Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan MPR 2000, 2001, dan 2002; (b) Hal itu terjadi karena materi perubahan UUD NRI 1945 yang

9. UUD NRI 1945 menempati urutan tertinggi dalam jenjang norma hukum di Indonesia. Berdasar ketentuan ini, secara normatif, undang-undang isinya tidak boleh bertentangan dengan UUD. Jika suatu undangundang isinya dianggap bertentangan dengan UUD maka dapat melahirkan masalah konstitusionalitas undang-undang tersebut. Warga negara dapat mengajukan pengujian konstitusionalitas suatu undangundang kepada Mahkamah Konstitusi8. Dari proses perubahan UUD NRI 1945, dapat diketahui hal-hal sebagai berikut: (a) Perubahan UUD NRI 1945 dilakukan oleh MPR dalam satu kesatuan perubahan yang dilaksanakan dalam empat tahapan, yakni pada Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan MPR 2000, 2001, dan 2002; (b) Hal itu terjadi karena materi perubahan UUD NRI 1945 yang

A HARMONI KEWAJIBAN DAN HAK NEGARA DAN WARGA NEGARA DALAM DEMOKRASI YANG BERSUMBU PADA KEDAULATAN RAKYAT DAN MUSYAWARAH UNTUK MUFAKAT

sebagai calon sarjana dan profesional diharapkan berdisiplin diri melaksanakan kewajiban dan hak warga negara dalam tatanan kehidupan demokrasi Indonesia yang bersumbu pada kedaulatan rakyat dan musyawarah untuk mufakat; mampu menerapkan harmoni kewajiban dan hak negara dan warga negara dalam tatanan kehidupan demokrasi Indonesia yang bersumbu pada kedaulatan rakyat dan musyawarah untuk mufakat; dan melaksanakan proyek belajar kewarganegaraan yang terfokus pada hakikat dan urgensi kewajiban dan hak negara dan warga negara dalam tatanan kehidupan demokrasi Indonesia yang bersumbu pada kedaulatan rakyat dan musyawarah untuk mufakat. A. Menelusuri Konsep dan Urgensi Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga Negara Dalam tradisi budaya Indonesia semenjak dahulu, tatkala wilayah Nusantara ini diperintah raja-raja, kita lebih mengenal konsep kewajiban dibandingkan konsep hak. Konsep kewajiban selalu menjadi landasan aksiologis dalam hubungan rakyat dan penguasa. Rakyat wajib patuh kepada titah raja tanpa reserve sebagai bentuk penghambaan total. Keadaan yang sama berlangsung tatkala masa penjajahan di Nusantara, baik pada masa penjajahan Belanda yang demikian lama maupun masa pendudukan Jepang yang relatif singkat. Horizon kehidupan politik daerah jajahan mendorong aspek kewajiban sebagai postulat ide dalam praksis kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Lambat laun terbentuklah mekanisme mengalahkan diri dalam tradisi budaya nusantara. Bahkan dalam tradisi Jawa, alasan kewajiban mengalahkan hak telah terpatri sedemikian kuat. Mereka masih asing terhadap diskursus hak. Istilah kewajiban jauh lebih akrab dalam dinamika kebudayaan mereka. Coba Anda cari bukti-bukti akan hal ini dalam buku-buku sejarah perihal kehidupan kerajaan-kerajaan nusantara. Walaupun demikian dalam sejarah Jawa selalu saja muncul pemberontakan-pemberontakan petani, perjuangan-perjuangan kemerdekaan atau protes-protes dari wong cilik melawan petinggi-petinggi mereka maupun tuantuan kolonial (Hardiman, 2011). Aksi-aksi perjuangan emansipatoris itu antara lain didokumentasikan Multatuli dalam buku Max Havelaar yang jelas lahir dari tuntutan hak-hak mereka. Tak hanya itu, ide

tentang Ratu Adil turut memengaruhi lahirnya gerakan-gerakan yang bercorak utopis. Perjuangan melawan imperialisme adalah bukti nyata bahwa sejarah kebudayaan kita tidak hanya berkutat pada

Guna merealisasikan kewajiban warga negara, negara mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan yang mengikat warga negara dan menjadi kewajiban warga negara untuk memenuhinya. Salah satu contoh kewajiban warga negara terpenting saat ini adalah kewajiban membayar pajak (Pasal 23A, UUD 1945). Hal ini dikarenakan saat ini pajak merupakan sumber penerimaan negara terbesar dalam membiayai pengeluaran negara dan pembangunan. Tanpa adanya sumber pendapatan pajak yang besar maka pembiayaan pengeluaran negara akan terhambat. Pajak menyumbang sekitar 74,63 % pendapatan negara. Jadi membayar pajak adalah contoh kewajiban warga negara yang nyata di era pembangunan seperti sekarang ini. Dengan masuknya pendapatan pajak dari warga negara maka pemerintah negara juga akan mampu memenuhi hak warga negara yakni hak mendapatkan penghidupan yang layak.ranah kewajiban an sich. Para pejuang kemerdekaan melawan kaum penjajah tak lain karena hak-hak pribumi dirampas dan dijarah. Situasi perjuangan merebut kemerdekaan yang berpanta rei, sambung menyambung dan tanpa henti, sejak perjuangan yang bersifat kedaerahan, dilanjutkan perjuangan menggunakan organisasi modern, dan akhirnya perang kemerdekaan memungkinkan kita sekarang ini lebih paham akan budaya hak daripada kewajiban. Akibatnya tumbuhlah mentalitas yang gemar menuntut hak dan jika perlu dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan kekerasan, akan tetapi ketika dituntut untuk menunaikan kewajiban malah tidak mau. Dalam sosiologi konsep ini dikenal dengan istilah “strong sense of entitlement”.

Menanya Alasan Mengapa Diperlukan Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga Negara Indonesia

Pada uraian di atas Anda telah memperoleh pemahaman bahwa tradisi budaya Indonesia semenjak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara lebih mengenal konsep kewajiban dibandingkan konsep hak. Mekanismenya adalah kepatuhan tanpa reserve rakyat terhadap penguasa dalam hal ini raja atau sultan sebagai bentuk penghambaan secara total. Keadaan yang sama berlangsung tatkala masa penjajahan di Nusantara di mana horizon kehidupan politik daerah jajahan mendorong aspek kewajiban sebagai postulat ide dalam praksis kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Dua kekuatan inilah yang mengkonstruksi pemikiran rakyat di Nusantara untuk mengedepankan kewajiban dan dalam batas-batas tertentu melupakan pemerolehan hak, walaupun pada kenyataannya bersifat temporal karena sebagaimana terekam dalam Max Havelaar rakyat yang tertindas akhirnya memberontak menuntut hak-hak mereka.

Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politik tentang Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga Negara Indonesia

Sumber Historis Secara historis perjuangan menegakkan hak asasi manusia terjadi di dunia Barat (Eropa). Adalah John Locke, seorang filsuf Inggris pada abad ke-17, yang pertama kali merumuskan adanya hak alamiah (natural rights) yang melekat pada setiap diri manusia, yaitu hak atas hidup, hak kebebasan, dan hak milik. Coba Anda pelajari lebih jauh ihwal kontribusi John Locke terhadap perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia. Perkembangan selanjutnya ditandai adanya tiga peristiwa penting di dunia Barat, yaitu Magna Charta,

Revolusi Amerika, dan Revolusi Perancis. Anda tentu saja telah mengenal ketiga peristiwa besar tersebut. Namun agar pemahaman Anda semakin baik, simaklah ulasan singkat dari ketiga peristiwa tersebut berikut ini. a. Magna Charta (1215) Piagam perjanjian antara Raja John dari Inggris dengan para bangsawan. Isinya adalah pemberian jaminan beberapa hak oleh raja kepada para bangsawan beserta keturunannya, seperti hak untuk tidak dipenjarakan tanpa adanya pemeriksaan pengadilan. Jaminan itu diberikan sebagai balasan atas bantuan biaya pemerintahan yang telah diberikan oleh para bangsawan. Sejak saat itu, jaminan hak tersebut berkembang dan menjadi bagian dari sistem konstitusional Inggris.

 Revolusi Amerika (1276) Perang kemerdekaan rakyat Amerika Serikat melawan penjajahan Inggris disebut Revolusi Amerika. Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) Amerika Serikat menjadi negara merdeka tanggal 4 Juli1776 merupakan hasil dari revolusi ini.

Revolusi Prancis (1789) Revolusi Prancis adalah bentuk perlawanan rakyat Prancis kepada rajanya sendiri (Louis XVI) yang telah bertindak sewenang-wenang dan absolut. Declaration des droits de I’homme et du citoyen (Pernyataan Hak-Hak Manusia dan Warga Negara) dihasilkan oleh Revolusi Prancis. Pernyataan ini memuat tiga hal: hak atas kebebasan (liberty), kesamaan (egality), dan persaudaraan (fraternite). Dalam perkembangannya, pemahaman mengenai HAM makin luas. Sejak permulaan abad ke-20, konsep hak asasi berkembang menjadi empat macam kebebasan (The Four Freedoms). Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Rooselvelt. Keempat macam kebebasan itu meliputi:

a. kebebasan untuk beragama (freedom of religion),

b. kebebasan untuk berbicara dan berpendapat (freedom of speech),

c. kebebasan dari kemelaratan (freedom from want), dan

d. kebebasan dari ketakutan (freedom from fear).

Sumber Sosiologis

 

Sumber Politik

 Sumber politik yang mendasari dinamika kewajiban dan hak negara dan warga negara Indonesia adalah proses dan hasil perubahan UUD NRI 1945 yang terjadi pada era reformasi. Pada awal era reformasi (pertengahan 1998), muncul berbagai tuntutan reformasi di masyarakat. Tuntutan tersebut disampaikan oleh berbagai komponen bangsa, terutama oleh mahasiswa dan pemuda. Masih ingatkan Anda butir-butir yang menjadi tuntutan reformasi itu? Beberapa tuntutan reformasi itu adalah:

a. mengamandemen UUD NRI 1945,

b. penghapusan doktrin Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI),

c. menegakkan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN),

d. melakukan desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah,

e. (otonomi daerah),

f. mewujudkan kebebasan pers,

g. mewujudkan kehidupan demokrasi. Mari kita fokuskan perhatian pada tuntutan untuk mengamandemen UUD NRI 1945 karena amat berkaitan dengan dinamika penghormatan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Adanya tuntutan tersebut didasarkan pada pandangan bahwa UUD NRI 1945 belum cukup memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan HAM.Akhir-akhir ini kita menyaksikan berbagai gejolak dalam masyarakat yang sangat memprihatinkan, yakni munculnya karakter buruk yang ditandai kondisi kehidupan sosial budaya kita yang berubah sedemikian drastis dan fantastis. Bangsa yang sebelumnya dikenal penyabar, ramah, penuh sopan santun, dan pandai berbasa-basi sekonyong-konyong menjadi pemarah, suka mencaci, pendendam, perang antar kampung dan suku dengan tingkat kekejaman yang sangat biadab. Bahkan yang lebih tragis, anakanak kita yang masih duduk di bangku sekolah pun sudah dapat saling menyakiti. Bagaimana kita dapat memahami situasi semacam ini? Situasi yang bergolak serupa ini dapat dijelaskan secara sosiologis karena ini memiliki kaitan dengan struktur sosial dan sistem budaya yang telah terbangun pada masa yang lalu. Mencoba membaca situasi pasca reformasi sekarang ini terdapat beberapa gejala sosiologis fundamental yang menjadi sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita (Wirutomo, 2001). Pertama, suatu kenyataan yang memprihatinkan bahwa setelah tumbangnya struktur kekuasaan “otokrasi” yang dimainkan Rezim Orde Baru ternyata bukan demokrasi yang kita peroleh melainkan oligarki di mana kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi, pendidikan, dan sebagainya). Kedua, sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita saat ini adalah akibat munculnya kebencian sosial budaya terselubung (sociocultural animosity). Gejala ini muncul dan semakin menjadi-jadi pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Ketika rezim Orde Baru berhasil dilengserkan, pola konflik di Indonesia ternyata bukan hanya terjadi antara pendukung fanatik Orde Baru dengan pendukung Reformasi, tetapi justru meluas menjadi konflik antarsuku, antarumat beragama, kelas sosial, kampung, dan sebagainya. Sifatnya pun bukan vertikal antara kelas atas dengan kelas bawah tetapi justru lebih sering horizontal, antarsesama rakyat kecil,

Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga Negara

turan Dasar Ihwal Pendidikan dan Kebudayaan, Serta Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

 Ketentuan mengenai hak warga negara di bidang pendidikan semula diatur dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD NRI 1945. Setelah perubahan UUD NRI 1945, ketentuannya tetap diatur dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD NRI 1945, namun Kesenjangan budaya sudah diprediksi oleh William F. Ogburn (seorang ahli sosiologi ternama), bahwa perubahan kebudayaan material lebih cepat dibandingkan dengan perubahan kebudayaan non material (sikap, perilaku, dan kebiasaan). Akibatnya akan terjadi kesenjangan budaya seperti diungkapkan sebelumnya. Oleh karena itu, budaya bangsa dan setiap orang Indonesia harus disiapkan untuk menyongsong era atau zaman kemajuan dan kecanggihan IPTEK tersebut. Negara juga wajib memajukan kebudayaan nasional. Semula ketentuan mengenai kebudayaan diatur dalam Pasal 32 UUD NRI 1945 tanpa ayat. Setelah perubahan UUD NRI 1945 ketentuan tersebut masih diatur dalam Pasal 32 UUD NRI 1945 namun dengan dua ayat. Perhatikanlah perubahannya berikut ini. Rumusan naskah asli: Pasal 32: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Rumusan perubahan: Pasal 32, (1) “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.

Aturan Dasar Ihwal Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial

Bagaimana Ketentuan Mengenai Perekonomian Nasional diatur dalam UUD NRI Tahun 1945? Sebelum diubah, ketentuan ini diatur dalam Bab XIV dengan judul Kesejahteraan Sosial dan terdiri atas 2 pasal, yaitu Pasal 33 dengan 3 ayat dan Pasal 34 tanpa ayat. Setelah perubahan UUD NRI 1945, judul bab menjadi Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, terdiri atas dua pasal, yaitu Pasal 33 dengan 5 ayat dan Pasal 34 dengan 4 ayat. Ambillah naskah UUD NRI 1945 dan bacalah dengan seksama pasal-pasal yang dimaksud tersebut. Salah satu perubahan penting untuk Pasal 33 terutama dimaksudkan untuk melengkapi aturan yang sudah diatur sebelum perubahan UUD NRI 1945, sebagai berikut:

a. Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI 1945: menegaskan asas kekeluargaan;

b. Pasal 33 Ayat (2) UUD NRI 1945: menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara;

c. Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945: menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai negara.

Adapun ketentuan baru yang tercantum dalam Pasal 33 Ayat (4) UUD NRI 1945 menegaskan tentang prinsip-prinsip perekonomian nasional yang perlu dicantumkan guna melengkapi ketentuan dalam Pasal 33 Ayat (1), (2), dan (3) UUD NRI 1945. Mari kita bicarakan terlebih dahulu mengenai ketentuan-ketentuan mengenai perekonomian nasional yang sudah ada sebelum perubahan UUD NRI 1945.

Aturan Dasar Ihwal Usaha Pertahanan dan Keamanan Negara

Semula ketentuan tentang pertahanan negara menggunakan konsep pembelaan terhadap negara [Pasal 30 Ayat (1) UUD NRI 1945]. Namun setelah perubahan UUD NRI 1945 konsep pembelaan negara dipindahkan menjadi Pasal 27 Ayat (3) dengan sedikit perubahan redaksional. Setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945, ketentuan mengenai hak dan kewajiban dalam usaha pertahanan dan keamanan negara [Pasal 30 Ayat (1) UUD NRI 1945] merupakan penerapan dari ketentuan Pasal 27 Ayat (3) UUD NRI 1945. Mengapa demikian? Karena upaya membela negara mengandung pengertian yang umum. Pertanyaannya adalah bagaimana penerapannya? Penerapannya adalah dengan memberikan hak dan kewajiban kepada warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Bagaimana usaha pertahanan dan keamanan negara dilakukan? Pasal 30 Ayat (2) UUD NRI 1945 menegaskan sebagai berikut: “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai komponen utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung”. Dipilihnya sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) dilatarbelakangi oleh pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri. Pengalaman yang bagaimana yang melatarbelakangi dipilihnya Sishankamrata itu? Mari kita melakukan kilas balik sejarah (flash back) pada salah satu faktor penting suksesnya revolusi kemerdekaan tahun 1945 dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang terletak pada bersatu-padunya kekuatan rakyat, kekuatan militer, dan kepolisian. Dalam perkembangannya kemudian, bersatu-padunya kekuatan itu dirumuskan dalam sebuah sistem pertahanan dan keamanan negara yang disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta.

Dari rumusan Pasal 31 Ayat (3) UUD NRI 1945 juga terdapat konsep fungsi negara, dalam hal ini pemerintah, yakni mengusahakan dan sekaligus menyelenggarakan sistem pendidikan nasional. Jika kita menengok fungsifungsi negara (function of the state) dalam lingkup pembangunan negara (state-building) cakupannya meliputi hal-hal berikut ini.

a. Fungsi minimal: melengkapi sarana dan prasarana umum yang memadai, seperti pertahanan dan keamanan, hukum, kesehatan, dan keadilan.

b. Fungsi madya: menangani masalah-masalah eksternalitas, seperti pendidikan, lingkungan, dan monopoli.

c. Fungsi aktivis: menetapkan kebijakan industrial dan redistribusi kekayaan. Berdasarkan klasifikasi fungsi negara tersebut, penyelenggaraan pendidikan termasuk fungsi madya dari negara. Artinya, walaupun bukan merupakan pelaksanaan fungsi tertinggi dari negara, penyelenggaraan pendidikan juga sudah lebih dari hanya sekedar pelaksanaan fungsi minimal negara. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan sangatlah penting

HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKAN PANCASILA DAN UUD NRI 1945

Menelusuri Konsep dan Urgensi Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila

Apa Demokrasi Itu? Apakah demokrasi itu? Cobalah kemukakan pengetahuan awal Anda tentang demokrasi. Gagasan tentang demokrasi secara sederhana seringkali nampak dalam ungkapan, cerita atau mitos. Misalnya, orang Minangkabau membanggakan tradisi demokrasi mereka, yang dinyatakan dalam ungkapan: “Bulat air di pembuluh, bulat kata di mufakat”. Orang Jawa, secara samar-samar menunjukkan tentang gagasan demokrasi dengan mengacu kebiasaan rakyat Jawa untuk pepe (berjemur) di muka keraton bila mereka ingin mengungkapkan persoalan hidupnya kepada Raja. Ada juga yang mencoba menjelaskan dari cerita wayang, bahwa Bima atau Werkudara memakai mahkota yang dinamai Gelung Mangkara Unggul, artinya sanggul (dandanan rambut) yang tinggi di belakang. Hal ini diberi makna rakyat yang di belakang itu sebenarnya unggul atau tinggi, artinya: berkuasa (Bintoro, 2006). Dari kutipan pengertian tersebut tampak bahwa kata demokrasi merujuk kepada konsep kehidupan negara atau masyarakat di mana warganegara dewasa turut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih; pemerintahannya mendorong dan menjamin kemerdekaan berbicara, beragama, berpendapat, berserikat, menegakkan ”rule of law”, adanya pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok minoritas; dan masyarakat yang warga negaranya saling memberi perlakuan yang sama. Pengertian tersebut pada dasarnya merujuk kepada ucapan Abraham Lincoln mantan Presiden Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa “demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” atau “the government from the people, by the people, and for the people”. Karena “people” yang menjadi pusatnya, demokrasi oleh Pabottinggi (2002) disikapi sebagai pemerintahan yang memiliki paradigma “otocentricity” atau otosentrisitas yakni rakyatlah (people) yang harus menjadi kriteria dasar demokrasi. Sebagai suatu konsep demokrasi diterima sebagai “…seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, yang juga mencakup seperangkat praktik dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku. Pendeknya, demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan” (USIS, 1995).

Tiga Tradisi Pemikiran Politik Demokrasi

 

Secara konseptual, seperti dikemukakan oleh Carlos Alberto Torres (1998) demokrasi dapat dilihat dari tiga tradisi pemikiran politik, yakni “classical Aristotelian theory, medieval theory, contemporary doctrine”. Dalam tradisi pemikiran Aristotelian demokrasi merupakan salah satu bentuk pemerintahan, yakni “…the government of all citizens who enjoy the benefits of citizenship”, atau pemerintahan oleh seluruh warganegara yang memenuhi syarat kewarganegaraan. Sementara itu dalam tradisi “medieval theory” yang pada dasarnya menerapkan “Roman law” dan konsep “popular souvereignity” menempatkan “…a foundation for the exercise of power, leaving the supreme power in the hands of the people”, atau suatu landasan pelaksanaan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Sedangkan dalam “contemporary doctrine of democracy”, konsep “republican” dipandang sebagai “…the most genuinely popular form of government”, atau konsep republik sebagai bentuk pemerintahan rakyat yang murni. Lebih lanjut, Torres (1998) memandang demokrasi dapat ditinjau dari dua aspek, yakni di satu pihak adalah “formal democracy” dan di lain pihak “substantive democracy”. “Formal democracy” menunjuk pada demokrasi dalam arti sistem pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari dalam berbagai

Pemikiran tentang Demokrasi Indonesia

Pada bagian pengantar telah dikemukakan bahwa suatu negara mempunyai ciri khas dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat atau demokrasinya. Hal ini ditentukan oleh sejarah negara yang bersangkutan, kebudayaan, pandangan hidup, serta tujuan yang ingin dicapainya. Negara Indonesia telah mentasbihkan dirinya sebagai negara demokrasi atau negara yang berkedaulatan rakyat. Tahukah Anda, di mana pernyataan tersebut dirumuskan? Sebagai negara demokrasi, demokrasi Indonesia memiliki kekhasan. Apa kekhasan demokrasi Indonesia itu? Menurut Budiardjo dalam buku DasarDasar Ilmu Politik (2008), demokrasi yang dianut di Indonesia adalah demokrasi yang berdasarkan Pancasila yang masih terus berkembang dan sifat dan ciri-cirinya terdapat pelbagai tafsiran dan pandangan. Meskipun demikian tidak dapat disangkal bahwa nilai-nilai pokok dari demokrasi konstitusional telah cukup tersirat dalam UUD NRI 1945. Apa itu demokrasi Pancasila dan apa itu demokrasi konstitusional? Untuk mendalami hal ini, cobalah Anda cari berbagai pendapat tentang Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Konstitusional. Apakah sebelum muncul istilah demokrasi Pancasila, bangsa Indonesia sudah memiliki tradisi demokrasi? Ada baiknya kita ikuti pendapat Drs. Mohammad Hatta yang dikenal sebagai Bapak Demokrasi Indonesia tentang hal tersebut. Menurut Moh. Hatta, kita sudah mengenal tradisi demokrasi jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni demokrasi desa. Demokrasi desa atau desa-demokrasi merupakan demokrasi asli Indonesia, yang bercirikan tiga hal yakni 1) cita-cita rapat, 2) cita-cita massa protes, dan 3) cita-cita tolong menolong. Ketiga unsur demokrasi desa tersebut merupakan dasar pengembangan ke arah demokrasi Indonesia yang modern. Demokrasi Indonesia yang modern adalah “daulat rakyat” tidakhanya berdaulat dalam bidang politik, tetapi juga dalam bidang ekonomi dan social

Pentingnya Demokrasi sebagai Sistem Politik Kenegaraan Modern

Mengapa demokrasi yang dipilih sebagai jalan bagi bentuk pemerintahan guna mencapai tujuan bernegara yakni kesejahteraan? Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan, pada awalnya dimulai dari sejarah Yunani Kuno. Namun demikian demokrasi saat itu hanya memberikan hak berpartisipasi politik pada minoritas kaum laki-laki dewasa. Demokrasi di mata para pemikir Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles bukanlah bentuk pemerintahan yang ideal. Mereka menilai demokrasi sebagai pemerintahan oleh orang miskin atau pemerintahan oleh orang dungu. Demokrasi Yunani Kuno itu selanjutnya tenggelam oleh kemunculan pemerintahan model Kekaisaran Romawi dan tumbuhnya negara-negara kerajaan di Eropa sampai abad ke-17. Namun demikian pada akhir abad ke-17 lahirlah demokrasi “modern” yang disemai oleh para pemikir Barat seperti Thomas Hobbes, Montesquieu, dan J.J. Rousseau, bersamaan dengan munculnya konsep negara-bangsa di Eropa. Menanya Alasan Mengapa Diperlukan Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila Hingga sekarang ini kita masih menyaksikan sejumlah persoalan tentang kelemahan praktik demokrasi kita. Beberapa permasalahan tersebut yang sempat muncul di berbagai media jejaring sosial adalah (1) Buruknya kinerja lembaga perwakilan dan partai politik; (2) Krisis partisipasi politik rakyat; (3) Munculnya penguasa di dalam demokrasi; dan 4) Demokrasi saat ini membuang kedaulatan rakyat. Terjadinya krisis partisipasi politik rakyat disebabkan karena tidak adanya peluang untuk berpartisipasi atau karena terbatasnya kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Secara lebih spesifik penyebab rendahnya partisipasi politik tersebut adalah: (a) Pendidikan yang rendah menyebabkan rakyat kurang aktif dalam melaksanakan partisipasi politik; (b) Tingkat ekonomi rakyat yang rendah; dan (c) Partisipasi politik rakyat

Sumber Nilai yang Berasal dari Demokrasi Desa

Demokrasi yang diformulasikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat merupakan fenomena baru bagi Indonesia ketika merdeka. Kerajaan-kerajaan pra-Indonesia adalah kerajaan-kerajaan feodal yang dikuasai oleh raja-raja autokrat. Akan tetapi, nilai-nilai demokrasi dalam taraf tertentu sudah berkembang dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit politik terkecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatra Barat, dan banjar di Bali (Latif, 2011). Mengenai adanya anasir demokrasi dalam tradisi desa kita akan meminjam dua macam analisis berikut. Pertama, paham kedaulatan rakyat sebenarnya sudah tumbuh sejak lama di Nusantara. Di alam Minangkabau, misalnya pada abad XIV sampai XV kekuasaan raja dibatasi oleh ketundukannya pada keadilan dan kepatutan. Ada istilah yang cukup tekenal pada masa itu bahwa “Rakyat ber-raja pada Penghulu, Penghulu ber-raja pada Mufakat, dan Mufakat ber-raja pada alur dan patut”. Dengan demikian, raja sejati di dalam kultur Minangkabau ada pada alur (logika) dan patut (keadilan). Alur dan patutlah yang menjadi pemutus terakhir sehingga keputusan seorang raja akan ditolak apabila bertentangan dengan akal sehat dan prinsip-prinsip keadilan (Malaka, 2005).

Sumber Nilai yang Berasal dari Islam

Nilai demokratis yang berasal dari Islam bersumber dari akar teologisnya. Inti dari keyakinan Islam adalah pengakuan pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid, Monoteisme). Dalam keyakinan ini, hanya Tuhanlah satu-satunya wujud yang pasti. Semua selain Tuhan, bersifat nisbi belaka. Konsekuensinya, semua bentuk pengaturan hidup sosial manusia yang melahirkan kekuasaan mutlak, dinilai bertentangan dengan jiwa Tauhid (Latif, 2011). Pengaturan hidup dengan menciptakan kekuasaan mutlak pada sesama manusia merupakan hal yang tidak adil dan tidak beradab. Sikap pasrah kepada Tuhan, yang memutlakkan Tuhan dan tidak pada sesuatu yang lain, menghendaki tatanan sosial terbuka, adil, dan demokratis (Madjid, 1992) Kelanjutan logis dari prinsip Tauhid adalah paham persamaan (kesederajatan) manusia di hadapan Tuhan, yang melarang adanya perendahan martabat dan pemaksaan kehendak antarsesama manusia. Bahkan seorang utusan Tuhan tidak berhak melakukan pemaksaan itu. Seorang utusan Tuhan mendapat tugas hanya untuk menyampaikan kebenaran (tabligh) kepada umat manusia, bukan untuk memaksakan kebenaran kepada mereka. Dengan prinsip persamaan manusia di hadapan Tuhan itu, tiap-tiap manusia dimuliakan kehidupan, kehormatan, hak-hak, dan kebebasannya yang dengan kebebasan pribadinya itu manusia menjadi makhluk moral yang harus bertanggung jawab atas pilian-pilihannya. Dengan prinsip persamaan, manusia juga didorong menjadi makhluk social yang menjalin kerjasama dan persaudaraan untuk mengatasi kesenjangan dan meningkatkan mutu kehidupan bersama (Latif, 2011).

Sumber Nilai yang Berasal dari Barat

Masyarakat Barat (Eropa) mempunyai akar demokrasi yang panjang. Pusat pertumbuhan demokrasi terpenting di Yunani adalah kota Athena, yang sering dirujuk sebagai contoh pelaksanaan demokrasi partisipatif dalam negara-kota sekitar abad ke-5 SM. Selanjutnya muncul pula praktik pemerintahan sejenis di Romawi, tepatnya di kota Roma (Italia), yakni sistem pemerintahan republik. Model pemerintahan demokratis model Athena dan Roma ini kemudian menyebar ke kotakota lain sekitarnya, seperti Florence dan Venice. Model demokrasi ini mengalami kemunduran sejak kejatuhan Imperium Romawi sekitar abad ke-5 M, bangkit sebentar di beberapa kota di Italia sekitar abad ke-11 M kemudian lenyap pada akhir “zaman pertengahan” Eropa. Setidaknya sejak petengahan 1300 M, karena kemunduran ekonomi, korupsi dan peperangan, pemerintahan demokratis di Eropa digantikan oleh sistem pemerintahan otoriter (Dahl, 1992).

Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila

Jika Anda ditanya di manakah kita dapat melihat postur demokrasi kita secara normatif? Tentu saja jawabannya adalah dalam konstitusi kita. Sepanjang sejarah Indonesia pernah mengalami dinamika ketatanegaraan seiring dengan berubahnya konstitusi yang dimulai sejak berlakunya UUD 1945 (I), Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, kembali ke UUD 1945 (II) dan akhirnya kita telah berhasil mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali. Ihwal postur demokrasi kita dewasa ini dapat kita amati dari fungsi dan peran lembaga permusyawaratan dan perwakilan rakyat menurut UUD NRI Tahun 1945, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Untuk memahami dinamika dan tantangan demokrasi kita itu, Anda diminta untuk membandingkan aturan dasar dalam naskah asli UUD 1945 dan bagaimana perubahannya berkaitan dengan MPR, DPR, dan DPD (Asshiddiqie dkk, 2008).

1.    Majelis Permusyawaratan Rakyat

2.    Dewan Perwakilan Rakyat

3.    Dewan Perwakilan Daerah

 

Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Demokrasi Pancasila

1.    Kehidupan Demokratis yang Bagaimana yang Kita Kembangkan?

Demokrasi itu selain memiliki sifat yang universal, yakni diakui oleh seluruh bangsa yang beradab di seluruh dunia, juga memiliki sifat yang khas dari masing-masing negara. Sifat khas demokrasi di setiap negara biasanya tergantung ideologi masing-masing. Demokrasi kita pun selain memiliki sifat yang universal, juga memiliki sifat khas sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sebagai demokrasi yang berakar pada budaya bangsa, kehidupan demokratis yang kita kembangkan harus mengacu pada landasan idiil Pancasila dan landasan konstitusional UD NRI Tahun 1945. Berikut ini diketengahkan “Sepuluh Pilar Demokrasi Pancasila” yang dipesankan oleh para pembentuk negara RI, sebagaimana diletakkan di dalam UUD NRI Tahun 1945 (Sanusi, 1998).

Mengapa Kehidupan yang Demokratis Itu Penting?

Pada hakikatnya sebuah negara dapat disebut sebagai negara yang demokratis, apabila di dalam pemerintahan tersebut rakyat memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, memiliki

persamaan di muka hukum, dan memperoleh pendapatan yang layak karena terjadi distribusi pendapatan yang adil. Mari kita uraikan makna masing-masing.

a. Partisipasi dalam Pembuatan Keputusan Dalam negara yang menganut sistem pemerintahan, demokrasi kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan pemerintahan dijalankan berdasarkan kehendak rakyat. Aspirasi dan kemauan rakyat harus dipenuhi dan pemerintahan dijalankan berdasarkan konstitusi yang merupakan arah dan pedoman dalam melaksanakan hidup bernegara. Para pembuat kebijakan memperhatikan seluruh aspirasi rakyat yang berkembang. Kebijakan yang dikeluarkan harus dapat mewakili berbagai keinginan masyarakat yang beragam. Sebagai contoh ketika masyarakat kota tertentu resah dengan semakin tercemarnya udara oleh asap rokok yang berasal dari para perokok, maka pemerintah kota mengeluarkan peraturan daerah tentang larangan merokok di tempat umum.

b. Persamaan Kedudukan di Depan Hukum Seiring dengan adanya tuntutan agar pemerintah harus berjalan baik dan dapat mengayomi rakyat dibutuhkan adanya hukum. Hukum itu mengatur bagaimana seharusnya penguasa bertindak, bagaimana hak dan kewajiban dari penguasa dan juga rakyatnya. Semua rakyat memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Artinya, hukum harus dijalankan secara adil dan benar. Hukum tidak boleh pandang bulu. Siapa saja yang bersalah dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Untuk menciptakan hal itu harus ditunjang dengan adanya aparat penegak hukum yang tegas dan bijaksana, bebas dari pengaruh pemerintahan yang berkuasa, dan berani menghukum siapa saja yang bersalah.

c. Distribusi Pendapatan Secara Adil Dalam negara demokrasi, semua bidang dijalankan dengan berdasarkan prinsip keadilan bersama dan tidak berat sebelah, termasuk di dalam bidang ekonomi. Semua warga negara berhak memperoleh pendapatan yang layak. Pemerintah wajib memberikan bantuan kepada fakir dan miskin yang berpendapatan rendah. Akhir-akhir ini Pemerintah menjalankan program pemberian bantuan tunai langsung, hal tersebut dilakukan dalam upaya membantu langsung para fakir miskin. Pada kesempatan lain,

Bagaimana Penerapan Demokrasi dalam Pemilihan Pemimpin Politik dan Pejabat Negara?

Seorang wanita tua menghadap Sultan Sulaiman al-Qanuni untuk mengadu bahwa tentara sultan mencuri ternak dombanya ketika dia sedang tidur. Setelah mendengar pengaduan itu, Sultan Sulaiman berkata kepada Wanita itu, “Seharusnya kamu menjaga ternakmu dan jangan tidur”. Mendengar perkataan tersebut wanita tua itu mejawab, “Saya mengira baginda menjaga dan melindungi kami sehingga aku tidur dengan aman” (Hikmah Dalam Humor, Kisah, dan Pepatah, 1998). Kisah di atas menunjukkan contoh pemimpin yang lemah, yakni pemimpin yang tidak mampu melindungi rakyatnya. Seorang pemimpin memang harus yang memiliki kemampuan memadai, sehingga ia mampu melindungi dan mengayomi rakyatnya dengan baik. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Berdasarkan sistem demokrasi yang kita anut seorang pemimpin itu harus beriman dan bertawa, bermoral, berilmu, terampil, dan demokratis. Bacalah dengan seksama, sebuah kisah tentang bagaimana karakter seorang pemimpin

Bagi kita yang terpenting adalah mampu mengambil hikmah dari sejumlah kejadian yang menimpa para pemimpin yang lalim dan tidak bermoral itu. Sejarah mencatat semua pemimpin yang zalim dan tidak bermoral tidak mendatangkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sedang ia sendiri di akhir hayatnya memperoleh kehinaan dan derita. Amangkurat I, misalnya meninggal di tempat pelarian dengan amat mengenaskan. Raja Louis XVI raja yang amat “tiran” dari Prancis, mati di-guillotine (pisau pemotong hewan) oleh massa, Adolf Hitler seorang diktator dari Jerman meninggal dengan cara meminum racun. Oleh karena itu, tidak ada guna dan manfaatnya sama sekali dari seorang pemimpin yang demikian itu. Jadilah pemimpin yang bermoral, berakhlak, dan berbudi pekerti luhur yang dapat memberi kemaslahatan bagi rakyat. Syarat lain bagi seorang pemimpin adalah berilmu, terampil, dan demokratis.

 

Belum ada Komentar untuk "Pendidikan Kewarganegaraan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel