Pendidikan Kewarganegaraan
Nama:Ilmi Fajar Ramadhan
NIM: 2007125608
Kelas:Teknik Informatika A
1.HAKIKAT PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN UTUH
SARJANA ATAU PROFESIONAL
Pada dasarnya pembelajaran PKn
belajar tentang kennegaraan sendiri belajar menjadi lebih nasionalis/mencintai
Negara sendiri sebagai seorang sarjana atau profesional maka sebagai bagian
masyarakat terdidik diperlukan rasa kecintaan terhadap bangsa sendiri
Konsep dan
Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pencerdasan Kehidupan Bangsa
Dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, program sarjana
merupakan jenjang pendidikan akademik bagi lulusan pendidikan menengah atau
sederajat sehingga mampu mengamalkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui
penalaran ilmiah.dan diharapkan lulusan sarjana ini memiliki moral dan
intelektual seta mampu menjadi harapan bangsa kedepannya sedangkan profesional
Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dikemukakan
bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dapat menjadi sumber
penghasilan, perlu keahlian, kemahiran, atau kecakapan, memiliki standar mutu,
ada norma dan diperoleh melalui pendidikan profesi nah maka dari itu apapun
seseorang berada diindonesia mau dari sarjana ataupun professional bila
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan, maka Anda
berstatus warga Negara selanjutnya warga negara dan siapakah warga negara
Indonesia (WNI) itu?
Pada
dasarnya “warga negara” dapat berarti warga, anggota (member) dari sebuah
negara. Warga negara adalah anggota dari sekelompok manusia yang hidup atau
tinggal di wilayah hukum tertentu yang memiliki hak dan kewajiban.
Setelah
Indonesia memasuki era kemerdekaan dan era modern, istilah ini / kawula negara
telah mengalami pergeseran. Istilah kawula negara sudah tidak digunakan lagi
dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini. Istilah
“warga negara” dalam kepustakaan Inggris dikenal dengan istilah “civic”,
“citizen”, atau “civicus”. Apabila ditulis dengan mencantumkan “s” di bagian
belakang kata civic mejadi “civics” berarti disiplin ilmu kewarganegaraan.
Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan
Kewarganegaraan adalah program pendidikan
yang berintikan demokrasi politik yang
diperluas dengan sumber2 pengetahuan lainnya,
pengaruh2 positif dari pendidikan sekolah,
masyarakat, dan orang tua, yang kesemuanya
itu diproses guna melatih para siswa untuk
berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak
demokratis dalam mempersiapkan hidup
demokratis yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Tujuan dari Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk
menjadikan Warga Negara yang Baik dan Terdidik. Smart and Good Citizen
Selanjutnya
secara yuridis, istilah kewarganegaraan dan pendidikan kewarganegaraan di
Indonesia adalah Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan
dengan warga negara. (Undang-Undang RI No.12 Tahun 2006 Pasal 1 Ayat 2)
Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. (Undang-Undang RI No
20 Tahun 2003, Penjelasan Pasal 37)
Apabila PKn memang penting
bagi suatu negara, apakah negara lain memiliki PKn atau Civic (Citizenship)
Education? Maka dikehidupan setiap Negara memiliki nama tersendiri pendidikan
kewarganegaraan nya maka dari sini jika pendidikan kewarganegaraan wajib
dilakukan untuk menambah rasa nasionalisme dan cinta terhadap bangsa sendiri
Berikut ini adalah istilah pendidikan kewarganegaraan hasil penelusuran Udin S.
Winataputra (2006) dan diperkaya oleh Sapriya (2013) sebagai berikut:
·
Pendidikan Kewarganegaraan (Indonesia)
·
Civics, Civic Education (USA)
·
Citizenship Education (UK)
· Ta’limatul Muwwatanah,
Tarbiyatul Watoniyah (Timteng)
·
Educacion Civicas (Mexico)
·
Sachunterricht (Jerman)
·
Civics, Social Studies (Australia)
·
Social Studies (USA, New Zealand)
·
Life Orientation (Afrika Selatan)
·
People and Society (Hongaria)
·
Civics and Moral Education (Singapore)
·
Obscesvovedinie (Rusia)
·
Pendidikan Sivik (Malaysia)
·
Fuqarolik Jamiyati (Uzbekistan)
·
Grajdanskiy Obrazavanie (Russian-Uzbekistan)
Hakikat
pendidikan kewarganegaraan dalam mengembangkan kemampuan utuh sarjana atau
professional
ketentuan yang telah diatur
dalam UU RI nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan UU RI nomor 14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pendidikan program sarjana diharapkan menjadi
tenaga ahli profesional yang mampu menciptakan lapangan kerja.
Menurut Undang-Undang No. 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia, yang dimaksud warga negara adalah
warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pendidikan Kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi,
memberikan pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua,
dan diharapkan peserta didik menjadi manusia yang lebih baik dan sesuai
ketentuan Pancasila dan UUD RI 1945.
Mengapa
Diperlukan Pendidikan Kewarganegaraan
Mencermati arti dan maksud
pendidikan kewarganegaraan sebagaimana
yang ditegaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
menekankan pada
pembentukan warga negara agar memiliki rasa kebangsaan
dan cinta
tanah air
Menggali
Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik tentang Pendidikan Kewarganegaraan di
Indonesia
Pada bagian ini
dijelaskan sumber-sumber pendidikan kewarganegaraan di Indonesia baik secara
historis, sosiologis, maupun politis yang tumbuh, berkembang, dan berkontribusi
dalam pembangunan, serta pencerdasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara hingga dapat disadari bahwa bangsa Indonesia memerlukan pendidikan
kewarganegaraan.
Karena
pada kurikulum 1975 pendidikan kewarganegaraan dimunculkan dengan nama mata
pelajaran Pendidikan Moral Pancasila disingkat PMP. Demikian pula bagi generasi
tahun 1960 awal, istilah pendidikan kewarganegaraan lebih dikenal Civics.
Adapun sekarang ini, berdasar Kurikulum 2013, pendidikan kewarganegaraan
jenjang pendidikan dasar dan menengah menggunakan nama mata pelajaran PPKn.
Perguruan tinggi menyelenggarakan mata kuliah Pendidikan Pancasila dan
Pendidikan Kewarganegaraan. PKn pada saat permulaan atau awal kemerdekaan lebih
banyak dilakukan pada tataran sosial kultural dan dilakukan oleh para pemimpin
negarabangsa. Dalam pidato-pidatonya, para pemimpin mengajak seluruh rakyat
untuk mencintai tanah air dan bangsa Indonesia. Seluruh pemimpin bangsa
membakar semangat rakyat untuk mengusir penjajah yang hendak kembali menguasai
dan menduduki Indonesia yang telah dinyatakan merdeka.
Maka
dari untuk memerdekakan melawan penjanjah menjadi mush terberat bangsa
Indonesia sendiri namun yang lebih sulit untuk tetap dapat menjaga dan
mempertahankan kemerdekaan yang hakiki masih menjadi tujuan bangsa ini maka
dari itu pembelajaran pendidikan kewarganegaraan wajib diberlakukan agar tetap
dapat melawan pihak yang ingin merusak persatuan
Esensi
dan Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan untuk Masa Depan
Nah dalam bagian
akhir ini kita harus berfikir tentang masa yang akan datang apakah bangsa kita
mampu tetap bertahan/mempertahanlan persatuan kesatuannya dari sini kita dengan
mudah membuat apa saja yang pernah terjadi dalam suatu Negara atau dengan di
analisis terlebih dahulu maka dengan kita dapat membuat hasilnya tentunya cara
yang paling strategis adalah melalui pendidikan
sebaga media awal bagi pemuda pemudi Indonesia untuk cinta pada tanah
air
Sumber historis, Sosiologis, Dan Politik Tentang Pendidikan Kewarganegaraan
Hakikat dan Pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan
Masih ingatkah sejak kapan Anda mulai mengenal istilah
pendidikan kewarganegaraan (PKn)? Bila pertanyaan ini diajukan kepada generasi
yang berbeda maka jawabannya akan sangat beragam. Mungkin ada yang tidak
mengenal istilah PKn terutama generasi yang mendapat mata pelajaran dalam
Kurikulum 1975. Mengapa demikian? Karena pada kurikulum 1975 pendidikan
kewarganegaraan dimunculkan dengan nama mata pelajaran Pendidikan Moral
Pancasila disingkat PMP. Demikian pula bagi generasi tahun 1960 awal, istilah
pendidikan kewarganegaraan lebih dikenal Civics. Adapun sekarang ini, berdasar
Kurikulum 2013, pendidikan kewarganegaraan jenjang pendidikan dasar dan
menengah menggunakan nama mata pelajaran PPKn. Perguruan tinggi
menyelenggarakan mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan
Kewarganegaraan.
Untuk memahami pendidikan kewarganegaraan di Indonesia,
pengkajian dapat dilakukan secara historis, sosiologis, dan politis. Secara
historis, pendidikan kewarganegaraan dalam arti substansi telah dimulai jauh
sebelum Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka. Dalam sejarah kebangsaan
Indonesia, berdirinya organisasi Boedi Oetomo tahun 1908 disepakati sebagai
Hari Kebangkitan Nasional karena pada saat itulah dalam diri bangsa Indonesia
mulai tumbuh kesadaran sebagai bangsa walaupun belum menamakan Indonesia.
Setelah berdiri Boedi Oetomo, berdiri pula organisasi-organisasi pergerakan
kebangsaan lain seperti Syarikat Islam, Muhammadiyah, Indische Party, PSII,
PKI, NU, dan organisasi lainnya yang tujuan akhirnya ingin melepaskan diri dari
penjajahan Belanda. Pada tahun 1928, para pemuda yang berasal dari wilayah
Nusantara berikrar menyatakan diri sebagai bangsa Indonesia, bertanah air, dan
berbahasa persatuan bahasa Indonesia.
Pada tahun 1930-an, organisasi kebangsaan baik yang
berjuang secara terang-terangan maupun diam-diam, baik di dalam negeri maupun
di luar negeri tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Secara umum, organisasi-
organisasi tersebut bergerak dan bertujuan membangun rasa kebangsaan dan
mencita-citakan Indonesia merdeka. Akhirnya Indonesia merdeka setelah melalui
perjuangan panjang, pengorbanan jiwa dan raga, pada tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno dan Hatta, atas nama bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan
Indonesia.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan, melepaskan diri
dari penjajahan, bangsa Indonesia masih harus berjuang mempertahankan
kemerdekaan karena ternyata penjajah belum mengakui kemerdekaan dan belum
ikhlas melepaskan Indonesia sebagai wilayah jajahannya. Oleh karena itu,
periode pasca kemerdekaan Indonesia, tahun1945 sampai saat ini, bangsa
Indonesia telah berusaha mengisi perjuangan mempertahankan kemerdekaan melalui
berbagai cara, baik perjuangan fisik maupun
diplomatis.
Perjuangan mencapai kemerdekaan dari penjajah telah selesai, namun tantangan
untuk menjaga dan mempertahankan kemerdekaan yang hakiki belumlah selesai.
Prof. Nina Lubis (2008), seorang sejarawan menyatakan,
“... dahulu, musuh itu jelas: penjajah yang tidak
memberikan ruang untuk mendapatkan keadilan, kemanusiaan, yang sama bagi warga
negara, kini, musuh bukan dari luar, tetapi dari dalam negeri sendiri: korupsi
yang merajalela, ketidakadilan, pelanggaran HAM, kemiskinan, ketidakmerataan
ekonomi, penyalahgunaan kekuasaan, tidak menghormati harkat dan martabat orang
lain, suap-menyuap, dll.”
Dari penyataan ini tampak bahwa proses perjuangan untuk
menjaga eksistensi negara-bangsa, mencapai tujuan nasional sesuai cita-cita
para pendiri negara-bangsa (the founding fathers), belumlah selesai bahkan
masih panjang. Oleh karena itu, diperlukan adanya proses pendidikan dan
pembelajaran bagi warga negara yang dapat memelihara semangat perjuangan
kemerdekaan, rasa kebangsaan, dan cinta tanah air.
PKn pada saat permulaan atau awal kemerdekaan lebih
banyak dilakukan pada tataran sosial kultural dan dilakukan oleh para pemimpin
negara- bangsa. Dalam pidato-pidatonya, para pemimpin mengajak seluruh rakyat
untuk mencintai tanah air dan bangsa Indonesia. Seluruh pemimpin bangsa
membakar semangat rakyat untuk mengusir penjajah yang hendak kembali menguasai
dan menduduki Indonesia yang telah dinyatakan merdeka. Pidato-pidato dan
ceramah-ceramah yang dilakukan oleh para pejuang, serta kyai-kyai di pondok
pesantren yang mengajak umat berjuang mempertahankan tanah air merupakan PKn
dalam dimensi sosial kultural. Inilah sumber PKn dari aspek sosiologis. PKn
dalam dimensi sosiologis sangat diperlukan oleh masyarakat dan akhirnya
negara-bangsa untuk menjaga, memelihara, dan mempertahankan eksistensi
negara-bangsa.
Upaya pendidikan kewarganegaraan pasca kemerdekaan tahun
1945 belum dilaksanakan di sekolah-sekolah hingga terbitnya buku Civics pertama
di Indonesia yang berjudul Manusia dan Masjarakat Baru Indonesia (Civics) yang
disusun bersama oleh Mr. Soepardo, Mr. M. Hoetaoeroek, Soeroyo Warsid,
Soemardjo, Chalid Rasjidi, Soekarno, dan Mr. J.C.T. Simorangkir. Pada cetakan
kedua, Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, Prijono (1960), dalam
sambutannya menyatakan bahwa setelah keluarnya dekrit Presiden kembali kepada
UUD 1945 sudah
Secara politis,
pendidikan kewarganegaraan mulai dikenal dalam pendidikan sekolah dapat digali
dari dokumen kurikulum sejak tahun 1957 sebagaimana dapat diidentifikasi dari
pernyataan Somantri (1972) bahwa pada masa Orde Lama mulai dikenal istilah: (1)
Kewarganegaraan (1957); (2) Civics (1962); dan (3) Pendidikan Kewargaan Negara
(1968). Pada masa awal Orde Lama sekitar tahun 1957, isi mata pelajaran PKn
membahas cara pemerolehan dan kehilangan kewarganegaraan, sedangkan dalam
Civics (1961) lebih banyak membahas tentang sejarah Kebangkitan Nasional, UUD,
pidato-pidato politik kenegaraan yang terutama diarahkan untuk "nation and
character building” bangsa Indonesia.
Bagaimana sumber politis PKn pada saat Indonesia memasuki
era baru, yang disebut Orde Baru? Pada awal pemerintahan Orde Baru, Kurikulum
sekolah yang berlaku dinamakan Kurikulum 1968. Dalam kurikulum tersebut di
dalamnya tercantum mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara. Dalam mata
pelajaran tersebut materi maupun metode yang bersifat indoktrinatif dihilangkan
dan diubah dengan materi dan metode pembelajaran baru yang dikelompokkan
menjadi Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila, sebagaimana tertera dalam Kurikulum
Sekolah Dasar (SD) 1968 sebagai berikut.
“Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila ialah Kelompok segi
pendidikan yang terutama ditujukan kepada pembentukan mental dan moral Pancasila
serta pengembangan manusia yang sehat dan kuat fisiknya dalam rangka pembinaan
Bangsa.
Sebagai alat formil dipergunakan segi
pendidikan-pendidikan: Pendidikan Agama, Pendidikan Kewargaan Negara,
pendidikan Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah dan Olahraga. Pendidikan Agama
diberikan secara intensif sejak dari kelas I sampai kelas VI dan tidak dapat
diganti pendidikan budi pekerti saja.
Begitu pula, Pendidikan Kewargaan Negara, yang mencakup
sejarah Indonesia, Ilmu Bumi, dan Pengetahuan Kewargaan Negara, selama masa
pendidikan yang enam tahun itu diberikan terus menerus. Sedangkan Bahasa
Indonesia dalam kelompok ini mendapat tempat yang penting sekali, sebagai alat
pembina cara
berpikir dan
kesadaran nasional. Sedangkan Bahasa Daerah digunakan sebagai langkah pertama
bagi sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa pengantar
sampai kelas III dalam membina jiwa dan moral Pancasila. Olahraga yang
berfungsi sebagai pembentuk manusia Indonesia yang sehat rohani dan jasmaninya
diberikan secara teratur semenjak anak-anak menduduki bangku sekolah."
Dalam Kurikulum 1968, mata pelajaran PKn merupakan mata
pelajaran wajib untuk SMA. Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah
pendekatan korelasi, artinya mata pelajaran PKn dikorelasikan dengan mata
pelajaran lain, seperti Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, Hak Asasi
Manusia, dan Ekonomi, sehingga mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara
menjadi lebih hidup, menantang, dan bermakna.
Kurikulum Sekolah tahun l968 akhirnya mengalami perubahan
menjadi Kurikulum Sekolah Tahun 1975. Nama mata pelajaran pun berubah menjadi
Pendidikan Moral Pancasila dengan kajian materi secara khusus yakni menyangkut
Pancasila dan UUD 1945 yang dipisahkan dari mata pelajaran sejarah, ilmu bumi,
dan ekonomi. Hal-hal yang menyangkut Pancasila dan UUD 1945 berdiri sendiri
dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP), sedangkan gabungan mata pelajaran
Sejarah, Ilmu Bumi dan Ekonomi menjadi mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
(lPS).
Pada masa pemerintahan Orde Baru, mata pelajaran PMP
ditujukan untuk membentuk manusia Pancasilais. Tujuan ini bukan hanya tanggung
jawab mata pelajaran PMP semata. Sesuai dengan Ketetapan MPR, Pemerintah telah
menyatakan bahwa P4 bertujuan membentuk Manusia Indonesia Pancasilais. Pada saat
itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) telah mengeluarkan
Penjelasan Ringkas tentang Pendidikan Moral Pancasila (Depdikbud, 1982), dan
mengemukakan beberapa hal penting sebagai berikut.
“Pendidikan Moral
Pancasila (PMP) secara konstitusional mulai dikenal dengan adanya TAP MPR No.
lV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara dan Ketetapan MPR No.
II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Dengan
adanya Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Paneasila (P4), maka materi PMP didasarkan pada isi P4 tersebut. Oleh karena
itu, TAP MPR No. II/ MPR/1978 merupakan penuntun dan pegangan hidup bagi sikap
dan tingkah laku setiap manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat serta bernegara.
Selanjutnya TAP MPR No. II/MPR?1978 dijadikanlah sumber, tempat berpijak, isi,
dan evaluasi PMP. Dengan demikian, hakikat PMP tiada lain adalah pelaksanaan P4
melalui jalur pendidikan formal. Di samping pelaksanaan PMP di sekolah-sekolah,
di dalam masyarakat umum giat diadakan usaha pemasyarakatan P4 lewat berbagai
penataran. “... dalam rangka menyesuaikan Kurikulum 1975 dengan P4 dan GBHN
1978, ... mengusahakan adanya buku pegangan bagi murid dan guru Sekolah Dasar
(SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) ... usaha
itu yang telah menghasilkan Buku Paket PMP...."
Sesuai dengan perkembangan iptek dan tuntutan serta
kebutuhan masyarakat, kurikulum sekolah mengalami perubahan menjadi Kurikulum
1994. Selanjutnya nama mata pelajaran PMP pun mengalami perubahan menjadi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang terutama didasarkan pada
ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Pada ayat 2 undang- undang tersebut dikemukakan
bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat:
(1) Pendidikan Pancasila; (2) Pendidikan Agama; dan (3) Pendidikan
Kewarganegaraan.
Pasca Orde Baru sampai saat ini, nama mata pelajaran
pendidikan kewarganegaraan kembali mengalami perubahan. Perubahan tersebut
dapat diidentifikasi dari dokumen mata pelajaran PKn (2006) menjadi mata
pelajaran PPKn (2013). Untuk lebih mendalami keduanya, buatlah perbandingan dua
dokumen kurikulum tersebut.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa secara
historis, PKn di Indonesia senantiasa mengalami perubahan baik istilah maupun
substansi sesuai dengan perkembangan peraturan perundangan, iptek, perubahan
masyarakat, dan tantangan global. Secara sosiologis, PKn Indonesia sudah sewajarnya
mengalami perubahan mengikuti perubahan yang terjadi di masyarakat. Secara
politis, PKn Indonesia akan terus mengalami perubahan sejalan dengan perubahan
sistem ketatanegaraan dan pemerintahan, terutama perubahan konstitusi.
MATERI PERTEMUAN 4
1. Bendera negara Sang Merah Putih
Bendera warna merah putih dikibarkan pertama
kali pada tanggal 17 Agustus 1945 namun telah ditunjukkan pada peristiwa Sumpah
Pemuda Tahun 1928. Bendera Negara yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan
Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56
Jakarta disebut Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih. Bendera Pusaka Sang Saka
Merah Putih saat ini disimpan dan dipelihara di Monumen Nasional Jakarta.
2. Bahasa Negara Bahasa Indonesia
Ketentuan tentang Bahasa Negara diatur dalam
Undang-undang No. 24 Tahun 2009 mulai Pasal 25 sampai Pasal 45. Bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara merupakan hasil kesepakatan para pendiri NKRI.
Bahasa Indonesia berasal dari rumpun bahasa Melayu yang dipergunakan sebagai
bahasa pergaulan (lingua franca) dan kemudian diangkat dan diikrarkan sebagai
bahasa persatuan pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Bangsa
Indonesia sepakat bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional sekaligus
sebagai jati diri dan identitas nasional Indonesia.
3. Lambang Negara
Garuda Pancasila
Garuda adalah burung khas Indonesia yang
dijadikan lambang negara. Di tengah-tengah perisai burung Garuda terdapat
sebuah garis hitam tebal yang melukiskan khatulistiwa. Pada perisai terdapat lima
buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut:
a. dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan
dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima;
b. dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri
bawah perisai;
c. dasar Persatuan Indonesia dilambangkan
dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai;
d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala
banteng di bagian kanan atas perisai; dan
e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan atas perisai.
Dengan demikian, lambang negara Garuda
Pancasila mengandung makna simbol sila-sila Pancasila. Dengan kata lain,
Lambang Negara yang dilukiskan dengan seekor burung Garuda merupakan satu
kesatuan dengan Pancasila. Artinya, lambang negara tidak dapat dipisahkan dari
dasar negara Pancasila.
4. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan
pertama kali dinyanyikan pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Lagu
Indonesia Raya selanjutnya menjadi lagu kebangsaan yang diperdengarkan pada
setiap upacara kenegaraan.
5. Semboyan Negara Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika artinya berbeda-beda
tetapi tetap satu jua. Semboyan ini dirumuskan oleh para the founding fathers
mengacu padakondisi masyarakat Indonesia yang sangat pluralis yang dinamakan
oleh Herbert Feith (1960), seorang Indonesianist yang menyatakan bahwa
Indonesia sebagai mozaic society. Seperti halnya sebuah lukisan mozaic yang
beraneka warna namun karena tersusun dengan baik maka keanekaragaman tersebut
dapat membentuk keindahan sehingga dapat dinikmati oleh siapa pun yang
melihatnya. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mengandung makna juga bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang heterogen, tak ada negara atau bangsa lain yang
menyamai Indonesia dengan keanekaragamannya, namun tetap berkeinginan untuk
menjadi satu bangsa yaitu bangsa Indonesia.
6. Dasar Falsafah Negara Pancasila Pancasila
memiliki sebutan atau fungsi dan kedudukan dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Pancasila berfungsi sebagai dasar negara, ideologi nasional,
falsafah negara, pandangan hidup bangsa, way of life, dan banyak lagi fungsi
Pancasila. Rakyat Indonesia menganggap bahwa Pancasila sangat penting karena
keberadaannya dapat menjadi perekat bangsa, pemersatu bangsa, dan tentunya
menjadi identitas nasional. Mengapa Pancasila dikatakan sebagai identitas
nasional yang unik sebagaimana telah disebutkan sebelumnya? Pancasila hanya ada
di Indonesia. Pancasila telah menjadi kekhasan Indonesia, artinya Pancasila
menjadi penciri bangsa Indonesia. Siapa pun orang Indonesia atau yang mengaku
sebagai warga negara Indonesia, maka ia harus punya pemahaman, bersikap, dan
berperilaku sesuai dengan Pancasila. Dengan kata lain, Pancasila sebagai
identitas nasional memiliki makna bahwa seluruh rakyat Indonesia seyogianya
menjadikan Pancasila sebagai landasan berpikir, bersikap, dan berperilaku dalam
kehidupan sehari-hari. Cara berpikir, bersikap, dan berperilaku bangsa
Indonesia tersebut menjadi pembeda dari cara berpikir, bersikap, dan
berperilaku bangsa lain.
Pancasila sebagai identitas nasional tidak
hanya berciri fisik sebagai simbol atau lambang, tetapi merupakan identitasnon
fisik atau sebagai jati diri bangsa. Pancasila sebagai jati diri bangsa
bermakna nilai-nilai yang dijalankan manusia Indonesia akan mewujud sebagai
kepribadian, identitas, dan keunikan bangsa Indonesia.
D. Membangun Argumen tentang Dinamika dan
Tantangan Identitas Nasional Indonesia
dinamika kehidupan yang sekaligus menjadi
tantangan terkait dengan masalah identitas nasional Indonesiasejumlah kasus dan
peristiwa dalam kehidupan sehari-hari seperti yang pernah kita
1. Lunturnya nilai-nilai luhur dalam praktik
kehidupan berbangsa dan bernegara (contoh: rendahnya semangat gotong royong,
kepatuhan hukum, kepatuhan membayar pajak, kesantunan, kepedulian, dan
lainlain)
2. Nilai –nilai Pancasila belum menjadi acuan
sikap dan perilaku sehari-hari (perilaku jalan pintas, tindakan serba instan,
menyontek, plagiat, tidakdisiplin, tidak jujur, malas, kebiasaan merokok di
tempat umum, buang sampah sembarangan, dan lain-lain)
3. Rasa nasionalisme dan patriotisme yang
luntur dan memudar (lebih menghargai dan mencintai bangsa asing, lebih
mengagungkan prestasi bangsa lain dan tidak bangga dengan prestasi bangsa
sendiri, lebih bangga menggunakan produk asing daripada produk bangsa sendiri,
dan lain-lain)
4. Lebih bangga menggunakan bendera asing
dari pada bendera merah putih, lebih bangga menggunakan bahasa asing daripada
menggunakan bahasa Indonesia.
Tantangan dan masalah yang dihadapi terkait
dengan Pancasila telah banyak mendapat tanggapan dan analisis sejumlah pakar.
Seperti Azyumardi Azra (Tilaar, 2007), menyatakan bahwa saat ini Pancasila
sulit dan dimarginalkan di dalam semua kehidupan masyarakat Indonesia karena:
(1) Pancasila dijadikan sebagai kendaraan politik; (2) adanya liberalisme
politik; dan (3) lahirnya desentralisasi atau otonomi daerah.
Menurut Tilaar (2007), Pancasila telah
terlanjur tercemar dalam era Orde Baru yang telah menjadikan Pancasila sebagai
kendaraan politik untuk mempertahankan kekuasaan yang ada. Liberalisme politik
terjadi pada saat awal reformasi yakni pada pasca pemerintahan Orde Baru. Pada
saat itu, ada kebijakan pemerintahan Presiden Habibie yang menghapuskan
ketentuan tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas untuk organisasi
kemasyarakatan termasuk organisasi partai politik. Sedangkan, lahirnya
peraturan perundangan tentang desentralisasi dan otonomi daerah seperti
lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui menjadi
Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah telah berdampak positif
dan negatif. Dampak negatifnya antara lain munculnya nilai-nilai primordialisme
kedaerahan sehingga tidak jarang munculnya rasa kedaerahan yang sempit.
Selanjutnya, tentang luntur dan memudarnya
rasa nasionalisme dan patriotisme perlu mendapat perhatian. Apa yang menjadi
penyebab masalah ini? Apabila orang lebih menghargai dan mencintai bangsa
asing, tentu perlu dikaji aspek/bidang apa yang dicintai tersebut. tersebut
beralih kepada bangsa sendiri. Demikian pula, apabila orang Indonesia lebih
mengagungkan prestasi bangsa lain dan tidak bangga dengan prestasi bangsa
sendiri, sebenarnya sesuatu yang aneh. Hal ini perlu ada upaya dari generasi
baru bangsa Indonesia untuk mendorong agar bangsa Indonesia membuat prestasi
yang tidak dapat dibuat oleh bangsa asing. Demikian pula, apabila orang Indonesia
lebih bangga menggunakan produk asing daripada produk bangsa sendiri, hendaknya
bangsa Indonesia mampu mendorong semangat berkompetisi. Intinya, bangsa
Indonesia perlu didorong agar menjadi bangsa yang beretos kerja tinggi, rajin,
tekun, ulet, tidak malas, serta menjunjung tinggi nilai kejujuran. Semua
nilai-nilai tersebut telah tercakup dalam Pancasila sehingga pada akhirnya
semua permasalahan akan terjawab apabila bangsa Indonesia mampu dan berkomitmen
untuk mengamalkan Pancasila.
Pada hakikatnya, semua unsur formal identitas
nasional, baik yang langsung maupun secara tidak langsung diterapkan, perlu
dipahami, diamalkan, dan diperlakukan sesuai dengan peraturan dan perundangan
yang berlaku. Permasalahannya terletak pada sejauh mana warga negara Indonesia
memahami dan menyadari dirinya sebagai warga negara yang baik yang beridentitas
sebagai warga negara Indonesia.
NILAI DAN NORMA KONSTITUSIONAL UUD NRI 1945 DAN KONSTITUSIONALITAS
KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BAWAH UUD
Dalam hidup bernegara, Anda dapat menemukan
beberapa aturan yang mengatur bagaimana pemerintahan dijalankan. Misalnya,
siapa yang menjalankan kekuasaan pemerintahan dan bagaimana kekuasaan tersebut
diperoleh. Anda juga dapat menemukan adanya beberapa aturan yang sama sekali
tidak berhubungan dengan cara-cara pemerintahan dijalankan. Pada saat Anda
menemukan aturan atau hukum yang berisi ketentuan yang mengatur bagaimana
pemerintah dijalankan, artinya Anda telah menemukan bagian atau isi dari
konstitusi. Menelusuri Konsep dan Urgensi Konstitusi dalam Kehidupan
Berbangsa-Negara Pernahkah Anda mendengar istilah konstitusi? Tentu saja
pernah, bukan? Pada saat Anda mempelajari mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan di sekolah istilah tersebut kerap kali dibahas
Contoh Aturan
1.
Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
2.
Jangan
berbicara saat mulut penuh makanan.
3.
Menyeberanglah
pada zebra cross dengan tertib dan hati-hati.
4.
Presiden
menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana
mestinya
5.
Selesaikanlah
pekerjaan rumahmu sebelum bermain ke luar rumah.
6.
Presiden
dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan
7. Seseorang baru
diperbolehkan memiliki surat izin mengemudi apabila sekurangkurangnya telah
berusia 16 tahun
Pada saat Anda menemukan aturan atau hukum
yang berisi ketentuan yang mengatur bagaimana pemerintah dijalankan, artinya
Anda telah menemukan bagian dari konstitusi. Konstitusi adalah seperangkat
aturan atau hukum yang berisi ketentuan tentang bagaimana pemerintah diatur dan
dijalankan. Oleh karena aturan atau hukum yang terdapat dalam konstitusi itu
mengatur hal-hal yang amat mendasar dari suatu negara, maka konstitusi
dikatakan pula sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam
penyelenggaraan suatu negara. Selanjutnya mari kita telusuri konsep konstitusi
dari segi bahasa atau asal katanya (secara etimologis). Istilah konstitusi
dikenal dalam sejumlah bahasa, misalnya dalam bahasa Prancis dikenal dengan
istilah constituer, dalam bahasa Latin/Italia digunakan istilah constitutio,
dalam bahasa Inggris digunakan istilah constitution, dalam bahasa Belanda
digunakan istilah constitutie, dalam bahasa Jerman dikenal dengan istilah verfassung,
sedangkan dalam bahasa Arab digunakan istilah masyrutiyah (Riyanto, 2009).
Constituer (bahasa Prancis) berarti membentuk, pembentukan. Yang dimaksud
dengan membentuk di sini adalah membentuk suatu negara. Kontitusi mengandung
permulaan dari segala peraturan mengenai suatu negara atau dengan kata lain
bahwa konstitusi mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai negara
(Prodjodikoro, 1970), pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan
suatu negara (Lubis, 1976),
Definisi Konstitusi
Lord James Bryce: “… a constitution as a
frame of political society, organized through and by law, that is to say, one
which in law has stablished permanent institutions with recognized function and
definite rights
(CF Strong, 1960). C.F. Strong: “…. a constitution
may be said to be a collection of principles according to which the power of
the government, the rights of governed, and the relations between the two are
adjusted (1960).
Aristoteles: Constitution variously as a
community of interests that the citizen of a state have in common, as the
common way of lving, that a state has chosen, and as in fact the government
(Djahiri, 1971. Pada bagian lain Aristoteles
merumuskan: A constitution is an organization of offices in a city, by which
the method of their distribution is fixed, the souvereign authority is
determined, and the nature of the end to be pursued---by the association and
all its members is prescribed (Barker, 1988)
Merujuk pandangan Lord James Bryce yang
dimaksud dengan konstitusi adalah suatu kerangka negara yang diorganisasikan
melalui dan dengan hukum, yang menetapkan lembaga-lembaga yang tetap dengan
mengakui fungsi-fungsi dan hak-haknya. Pendek kata bahwa konstitusi itu menurut
pandangannya merupakan kerangka negara yang diorganisasikan melalui dan dengan
hukum, yang menetapkan lembaga-lembaga yang tetap (permanen), dan yang
menetapkan fungsi-fungsi dan hak-hak dari lembaga-lembaga permanen tersebut.
Sehubungan dengan itu C.F. Strong yang menganut paham modern secara tegas
menyamakan pengertian konstitusi dengan undang-undang dasar. Rumusan yang
dikemukakannya adalah konstitusi itu merupakan satu kumpulan asas-asas mengenai
kekuasaan pemerintah, hak-hak yang diperintah, dan hubungan antara keduanya
(pemerintah dan yang diperintah dalam konteks hak-hak asasi manusia).
Konstitusi semacam ini dapat diwujudkan dalam sebuah dokumen yang dapat diubah
sesuai dengan perkembangan zaman, tetapi dapat pula berupa a bundle of separate
laws yang diberi otoritas sebagai hukum tata negara. Rumusan C.F. Strong ini
pada dasarnya sama dengan definisi Bolingbroke (Astim Riyanto, 2009).
Fungsi Konstitusi
1. Konstitusi berfungsi sebagai landasan
kontitusionalisme. Landasan konstitusionalisme adalah landasan berdasarkan
konstitusi, baik konstitusi dalam arti luas maupun konstitusi dalam arti
sempit. Konstitusi dalam arti luas meliputi undang-undang dasar, undang-undang
organik, peraturan perundang-undangan lain, dan konvensi. Konstitusi dalam arti
sempit berupa Undang-Undang Dasar (Astim Riyanto, 2009).
2. Konstitusi berfungsi untuk membatasi
kekuasaan pemerintah sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak
bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, diharapkan hak-hak warganegara akan
lebih terlindungi. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme, yang oleh Carl
Joachim Friedrich dijelaskan sebagai gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu
kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang
dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan
yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang
mendapat tugas untuk memerintah (Thaib dan Hamidi, 1999).
3. Konstitusi berfungsi: (a) membatasi atau
mengendalikan kekuasaan penguasa agar dalam menjalankan kekuasaannya tidak
sewenang-wenang terhadap rakyatnya; (b) memberi suatu rangka dasar hukum bagi
perubahan masyarakat yang dicitacitakan tahap berikutnya; (c) dijadikan
landasan penyelenggaraan negara menurut suatu sistem ketatanegaraan tertentu
yang dijunjung tinggi oleh semua warga negaranya; (d) menjamin hak-hak asasi
warga negara.
Perlunya Konstitusi dalam Kehidupan
Berbangsa-Negara Indonesia Dari kegiatan menelusuri konsep dan urgensi
kostitusi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara tentu saja Anda dapat
menemukan persoalan dalam bentuk pertanyan yang harus dijawab lebih lanjut
Menggali Sumber Historis, Sosiologis, dan
Politik tentang Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa-Negara Indonesia
Apakah ada negara yang tidak memiliki
konstitusi? Jika ada, apa yang akan terjadi dengan kehidupan negara tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kita perlu memulainya dari
penelusuran historis dengan memahami pandangan Thomas Hobbes (1588-1879). Dari
pandangan ini, kita akan dapat memahami, mengapa manusia dalam bernegara
membutuhkan konstitusi. Menurut Hobbes, manusia pada “status naturalis”
bagaikan serigala. Hingga timbul
adagium homo homini lupus (man is a wolf to
[his fellow] man), artinya yang kuat mengalahkan yang lemah. Lalu timbul
pandangan bellum omnium contra omnes (perang semua lawan semua). Hidup dalam
suasana demikian pada akhirnya menyadarkan manusia untuk membuat perjanjian
antara sesama manusia, yang dikenal dengan istilah factum unionis. Selanjutnya
timbul perjanjian rakyat menyerahkan kekuasaannya kepada penguasa untuk menjaga
perjanjian rakyat yang dikenal dengan istilah factum subjectionis. Dalam
bukunya yang berjudul Leviathan (1651) ia mengajukan suatu argumentasi tentang
kewajiban politik yang disebut kontrak sosial yang mengimplikasikan pengalihan
kedaulatan kepada primus inter pares yang kemudian berkuasa secara mutlak
(absolut). Primus inter pares adalah yang utama di antara sekawanan (kumpulan)
atau orang terpenting dan menonjol di antara orang yang derajatnya sama. Negara
dalam pandangan Hobbes cenderung seperti monster Leviathan.
Pandangan inilah yang mendorong munculnya
raja-raja tiran. Dengan mengatasnamakan primus inter pares dan wakil Tuhan di
bumi mereka berkuasa sewenang-wenang dan menindas rakyat. Salah satu contoh
raja yang berkuasa secara mutlak adalah Louis XIV, raja Perancis yang
dinobatkan pada 14 Mei 1643 dalam usia lima tahun. Ia baru mulai berkuasa penuh
sejak wafatnya menteri utamanya, Jules Cardinal Mazarin pada tahun 1661. Louis
XIV dijuluki sebagai Raja Matahari (Le Roi Soleil) atau Louis yang Agung (Louis
le Grand, atau Le Grand Monarque). Ia memerintah Perancis selama 72 tahun, masa
kekuasaan terlama monarki di Perancis dan bahkan di Eropa. Louis XIV
meningkatkan kekuasaan Perancis di Eropa melalui tiga peperangan besar: Perang
Perancis-Belanda, Perang Aliansi Besar, dan Perang Suksesi Spanyol antara
1701-1714. Louis XIV berhasil menerapkan absolutisme dan negara terpusat.
Ungkapan "L'État, c'est moi" ("Negara adalah saya") sering
dianggap berasal dari dirinya, walaupun ahli sejarah berpendapat hal ini tak
tepat dan kemungkinan besar ditiupkan oleh lawan politiknya sebagai perwujudan
stereotipe absolutisme yang dia anut. Seorang penulis Perancis, Louis de
Rouvroy, bahkan mengaku bahwa ia mendengar Louis XIV berkata sebelum ajalnya:
"Je m'en vais, mais l'État demeurera toujours" ("saya akan
pergi, tapi negara akan tetap ada"). Akibat pemerintahannya yang absolut,
Louis XIV berkuasa dengan sewenangwenang, hal itu menimbulkan kesengsaraan dan
penderitaan yang luar biasa pada rakyat. Sepeninggal dirinya, kekuasaannya yang
mutlak dilanjutkan oleh raja-raja berikutnya hingga Louis XVI. Kekuasaan Louis
XVI akhirnya dihentikan dan dia ditangkap pada Revolusi 10 Agustus, dan
akhirnya
dihukum dengan Guillotine untuk dakwaan
pengkhianatan pada 21 Januari 1793, di hadapan para penonton yang menyoraki
hukumannya. Gagasan untuk membatasi kekuasaan raja atau dikenal dengan istilah
konstitusionalisme yang mengandung arti bahwa penguasa perlu dibatasi
kekuasaannya dan karena itu kekuasaannya harus diperinci secara tegas,
sebenarnya sudah muncul sebelum Louis XVI dihukum dengan Guillotine. Dapatkah
Anda menjelaskan peristiwa mana yang mengawali tonggak sejarah tersebut? Coba
arahkan ingatan Anda pada sejarah perjuangan dalam menegakkan hak asasi manusia
(HAM). setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi
sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt,
and absolute power corrupts absolutely”. Inilah alasan mengapa diperlukan
konstitusi dalam kehidupan berbangsa-negara Indonesia, yakni untuk membatasi
kekuasaan pemerintah agar tidak memerintah dengan sewenang-wenang. Konstitusi
juga diperlukan untuk membagi kekuasaan dalam negara. Pandangan ini didasarkan
pada fungsi konstitusi yang salah satu di antaranya adalah membagi kekuasaan
dalam negara (Kusnardi dan Ibrahim, 1988). Bagi mereka yang memandang negara
dari sudut kekuasaan dan menganggap sebagai organisasi kekuasaan maka
konstitusi dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan
bagaimana kekuasaan dibagi di antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya
antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Konstitusi menentukan
cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasan itu bekerja sama dan menyesuaikan diri
satu sama lain serta merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam negara.
Hal-hal yang dimuat dalam konstitusi atau UUD
a.
Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif: Pada negara federal, pembagian kekuasaan antara
pemerintah federal dan pemerintah negara-negara bagian, dan tentang prosedur
menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan
pemerintahan.
b. Hak-hak asasi manusia. Dalam UUD NRI Tahun
1945, misalnya diatur secara khusus dalam BAB XA, Pasal 28A sampai Pasal 28 J.
c. Prosedur mengubah UUD. Dalam UUD NRI Tahun
1945, misalnya diatur secara khusus dalam BAB XVI, Pasal 37 tentang Perubahan
Undang-Undang Dasar.
d. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah
sifat tertentu dari UUD. Hal ini biasanya terdapat jika para penyusun UUD ingin
menghindari terulangnya kembali hal-hal yang baru saja diatasi, seperti
misalnya munculnya seorang diktator atau kembalinya suatu monarki. UUD Federal
Jerman melarang untuk mengubah sifat federalisme dari UUD oleh karena
dikuatirkan bahwa sifat unitarisme dapat melicinkan jalan untuk munculnya
kembali seorang diktator seperti Hitler. Dalam UUD NRI 1945, misalnya diatur
mengenai ketetapan bangsa Indonesia untuk tidak akan mengubah bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 37, Ayat 5).
e. Memuat cita-cita rakyat dan asas-asas
ideologi negara. Ungkapan ini mencerminkan semangat (spirit) yang oleh penyusun
UUD ingin diabadikan dalam UUD sehingga mewarnai seluruh naskah UUD itu.
Misalnya, UUD Amerika Serikat menonjolkan keinginan untuk memperkokoh
penggabungan 13 koloni dalam suatu Uni, menegaskan dalam Permulaan UUD: “Kami,
rakyat Amerika Serikat, dalam keinginan untuk membentuk suatu Uni yang lebih
sempurna... menerima UUD ini untuk Amerika Serikat”. Begitu pula UUD India
menegaskan:
maka kita mempunyai dua macam pengertian
tentang konstitusi itu, yaitu konstitusi dalam arti sempit dan konstitusi dalam
arti luas. a. Dalam arti sempit, konstitusi merupakan suatu dokumen atau
seperangkat dokumen yang berisi aturan-aturan dasar untuk menyelenggarakan
negara. b. Dalam arti luas, konstitusi merupakan peraturan, baik tertulis
maupun tidak tertulis, yang menentukan bagaimana lembaga negara dibentuk dan
dijalankan.
Membangun Argumen tentang Dinamika dan
Tantangan Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa-Negara Indonesia
UUD NRI 1945 mulai berlaku sebagai hukum
dasar yang mengatur kehidupan ketatanegaraan Indonesia dengan segala
keterbatasannya. Mengapa demikian, karena sejak semula UUD NRI 1945 oleh Bung
Karno sendiri dikatakan sebagai UUD kilat yang akan terus disempurnakan pada
masa yang akan datang. Dinamika
Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Konstitusi
dalam Kehidupan Berbangsa-Negara
hasil perubahan UUD NRI 1945 itu? Setelah
melewati proses yang cukup panjang, akhirnya MPR RI berhasil melakukan
perubahan UUD NRI 1945. Perubahan UUD NRI 1945 yang pada mulanya merupakan
tuntutan reformasi, dalam perjalanannya telah menjadi kebutuhan seluruh
komponen bangsa. Jadi, tidak heran jika dalam proses perubahan UUD NRI 1945,
seluruh komponen bangsa berpartisipasi secara aktif. Dalam empat kali masa
sidang MPR, UUD NRI 1945 mengalami perubahan
Hasil perubahan UUD NRI 1945
a. Perubahan Pertama UUD NRI 1945 dihasilkan
pada Sidang Umum MPR 1999 (tanggal 14 sampai 21 Oktober 1999).
b. Perubahan Kedua UUD NRI 1945 dihasilkan
pada Sidang Tahunan MPR 2000 (tanggal 7 sampai 18 Agustus 2000).
c. Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 dihasilkan
pada Sidang Tahunan MPR
d. 2001 (tanggal 1 sampai 9 November 2001)
e. Perubahan Keempat UUD NRI 1945 dihasilkan
pada Sidang Tahunan MPR 2002 (tanggal 1 sampai 11 Agustus 2002). Sumber: Naskah
Komprehensif Perubahan UUD NRI 1945, Buku I
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, asal
kata konstitusi dalam bahasa Perancis adalah constituer yang berarti membentuk
atau pembentukan. Yang dimaksud dengan membentuk di sini adalah membentuk suatu
negara. Oleh karena itu, konstitusi berarti menjadi dasar pembentukan suatu
negara. Dengan demikian dapat dikatakan tanpa konstitusi, negara tidak mungkin
terbentuk. Konstitusi menempati posisi yang sangat krusial dalam kehidupan
ketatanegaraan suatu negara. Hamid S. Attamimi, berpendapat bahwa pentingnya suatu
konstitusi atau Undang-Undang Dasar adalah sebagai pemberi pegangan dan pemberi
batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan. UUD NRI
1945 sebagai konstitusi negara Indonesia memiliki kedudukan sebagai hukum
tertinggi dan hukum dasar negara. Sebagai hukum tertinggi negara, UUD NRI 1945
menduduki posisi paling tinggi dalam jenjang norma hukum di Indonesia. Sebagai
hukum dasar, UUD NRI 1945 merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan
perundang-undangan di bawahnya.
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem
tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) seyogyanya menerapkan
prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Benarkah demikian? Jika benar
demikian, artinya Pemerintah berkewajiban menjelaskan secara transparan kemana
saja uang pajak yang telah dibayarkan tersebut dan untuk apa uang tersebut
dipergunakan? Apakah Anda sependapat dengan pernyataan tersebut? Tahukah Anda
tentang lembaga yang memiliki otoritas memungut pajak di Indonesia? Bagaimana mekanisme
pembayaran pajak? Ke mana para wajib pajak harus membayar pajak tersebut?
Bagaimana alur pengalokasian pajak berdasarkan Undang-Undang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara? Benarkah uang pajak digunakan untuk membiayai
program kerja baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah? Bagaimana mekanisme
pembiayaannya? Selain itu, ada juga skema subsidi Pemerintah Pusat yang
tujuannya untuk mengurangi beban masyarakat. Pahamkah Anda besarnya manfaat
pajak dan betapa pentingnya sumbangsih Anda melalui membayar pajak? Lembaga
yang memiliki otoritas memungut pajak di Indonesia adalah Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) untuk "Pajak Pusat" dan Dinas Pendapatan dan Pengelolaan
Aset Daerah (DPPKAD) atau nama lain yang sejenis untuk "Pajak Daerah".
Sesuai dengan amanat undang-undang lembaga ini bertugas menghimpun penerimaan
pajak. Apakah lembaga ini menerima pembayaran uang pajak langsung dari Wajib
Pajak? Ternyata tidak demikian. DJP maupun DPPKAD tidak menerima pembayaran
uang pajak langsung dari Wajib Pajak, melainkan hanya mengadministrasikan
pembayaran pajaknya saja. Wajib Pajak harus membayar pajak ke Kantor Pos atau
bank-bank yang ditunjuk oleh Pemerintah. Dengan demikian, uang pajak yang
dibayarkan oleh Wajib Pajak langsung masuk ke rekening kas negara untuk Pajak
Pusat dan rekening kas daerah untuk Pajak Daerah. Selanjutnya, untuk Pajak
Pusat, melalui Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
penerimaan pajak pusat dialokasikan untuk membiayai program kerja yang dikelola
oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah (Pemda). Sedangkan, untuk Pajak
Daerah, melalui pembahasan APBD yang dilakukan oleh Pemda dan DPRD, penerimaan
Pajak Daerah dialokasikan untuk membiayai program kerja Pemerintah Daerah.
Program kerja pemerintah pusat dibiayai melalui skema Daftar Isian Pelaksanaan
Kegiatan (DIPA) masing-masing Kementerian dan Lembaga Negara. Adapun alokasi
untuk Pemerintah Daerah, dijalankan melalui skema "Transfer ke
Daerah" melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan
Dana Bagi Hasil. Selain itu, ada juga skema subsidi Pemerintah Pusat yang
tujuannya untuk mengurangi beban masyarakat. Perhatikan Gambar IV.8 Ihwal alur
penerimaan dan penggunaan APBN terkait pajak
Rangkuman tentang Konstitusi dalam Kehidupan
BerbangsaNegara Indonesia
1.
Dalam
arti sempit konstitusi merupakan suatu dokumen atau seperangkat dokumen yang
berisi aturan-aturan dasar untuk menyelenggarakan negara, sedangkan dalam arti
luas konstitusimerupakan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang
menentukan bagaimana lembaga negara dibentuk dan dijalankan.
2. Konstitusi
diperlukan untuk membatasi kekuasaan pemerintah atau penguasa negara, membagi
kekuasaan negara, dan memberi jaminan HAM bagi warga negara.
3. Konstitusi
mempunyai materi muatan tentang organisasi negara, HAM, prosedur mengubah UUD,
kadang-kadang berisi larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD, cita-cita
rakyat dan asas-asas ideologi negara.
4. Pada awal era
reformasi, adanya tuntutan perubahan UUD NRI 1945 didasarkan pada pandangan bahwa
UUD NRI 1945 belum cukup memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis,
pemberdayaan rakyat, dan penghormatan terhadap HAM. Di samping itu, dalam tubuh
UUD NRI 1945 terdapat pasal-pasal yang menimbulkan penafsiran beragam
(multitafsir) dan membuka peluang bagi penyelenggaraan negara yang otoriter,
sentralistik, tertutup, dan praktik KKN.
5. Dalam
perkembangannya, tuntutan perubahan UUD NRI 1945 menjadi kebutuhan bersama
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, MPR melakukan perubahan secara bertahap dan
sistematis dalam empat kali perubahan. Keempat kali perubahan tersebut harus
dipahami sebagai satu rangkaian dan satu kesatuan.
6. Dasar pemikiran
perubahan UUD NRI 1945 adalah kekuasaan tertinggi di tangan MPR, kekuasaan yang
sangat besar pada presiden, pasalpasal yang terlalu “luwes” sehingga dapat
menimbulkan multitafsir, kewenangan pada presiden untuk mengatur hal-hal
penting dengan undang-undang, dan rumusan UUD NRI 1945 tentang semangat
penyelenggara negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang sesuai
dengan tuntutan reformasi.
7. Awal proses
perubahan UUD NRI 1945 adalah pencabutan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1983
tentang Referendum, pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI, dan
Ketetapan MPR mengenai Hak Asasi Manusia mengawali perubahan UUD NRI 1945.
telah disusun secara
sistematis dan lengkap pada masa sidang MPR tahun 1999-2000 tidak seluruhnya
dapat dibahas dan diambil putusan. (c) Hal itu berarti bahwa perubahan UUD NRI
1945 dilaksanakan secara sistematis berkelanjutan karena senantiasa mengacu dan
berpedoman pada materi rancangan yang telah disepakati sebelumnya.
8.Dari proses
perubahan UUD NRI 1945, dapat diketahui hal-hal sebagai berikut: (a) Perubahan
UUD NRI 1945 dilakukan oleh MPR dalam satu kesatuan perubahan yang dilaksanakan
dalam empat tahapan, yakni pada Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan MPR 2000,
2001, dan 2002; (b) Hal itu terjadi karena materi perubahan UUD NRI 1945 yang
9. UUD NRI 1945
menempati urutan tertinggi dalam jenjang norma hukum di Indonesia. Berdasar
ketentuan ini, secara normatif, undang-undang isinya tidak boleh bertentangan
dengan UUD. Jika suatu undangundang isinya dianggap bertentangan dengan UUD
maka dapat melahirkan masalah konstitusionalitas undang-undang tersebut. Warga
negara dapat mengajukan pengujian konstitusionalitas suatu undangundang kepada
Mahkamah Konstitusi8. Dari proses perubahan UUD NRI 1945, dapat diketahui
hal-hal sebagai berikut: (a) Perubahan UUD NRI 1945 dilakukan oleh MPR dalam
satu kesatuan perubahan yang dilaksanakan dalam empat tahapan, yakni pada
Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan MPR 2000, 2001, dan 2002; (b) Hal itu
terjadi karena materi perubahan UUD NRI 1945 yang
A HARMONI KEWAJIBAN
DAN HAK NEGARA DAN WARGA NEGARA DALAM DEMOKRASI YANG BERSUMBU PADA KEDAULATAN
RAKYAT DAN MUSYAWARAH UNTUK MUFAKAT
sebagai calon sarjana
dan profesional diharapkan berdisiplin diri melaksanakan kewajiban dan hak
warga negara dalam tatanan kehidupan demokrasi Indonesia yang bersumbu pada
kedaulatan rakyat dan musyawarah untuk mufakat; mampu menerapkan harmoni
kewajiban dan hak negara dan warga negara dalam tatanan kehidupan demokrasi
Indonesia yang bersumbu pada kedaulatan rakyat dan musyawarah untuk mufakat;
dan melaksanakan proyek belajar kewarganegaraan yang terfokus pada hakikat dan urgensi
kewajiban dan hak negara dan warga negara dalam tatanan kehidupan demokrasi
Indonesia yang bersumbu pada kedaulatan rakyat dan musyawarah untuk mufakat. A.
Menelusuri Konsep dan Urgensi Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga Negara
Dalam tradisi budaya Indonesia semenjak dahulu, tatkala wilayah Nusantara ini
diperintah raja-raja, kita lebih mengenal konsep kewajiban dibandingkan konsep
hak. Konsep kewajiban selalu menjadi landasan aksiologis dalam hubungan rakyat
dan penguasa. Rakyat wajib patuh kepada titah raja tanpa reserve sebagai bentuk
penghambaan total. Keadaan yang sama berlangsung tatkala masa penjajahan di
Nusantara, baik pada masa penjajahan Belanda yang demikian lama maupun masa
pendudukan Jepang yang relatif singkat. Horizon kehidupan politik daerah
jajahan mendorong aspek kewajiban sebagai postulat ide dalam praksis kehidupan
politik, ekonomi, dan sosial budaya. Lambat laun terbentuklah mekanisme
mengalahkan diri dalam tradisi budaya nusantara. Bahkan dalam tradisi Jawa,
alasan kewajiban mengalahkan hak telah terpatri sedemikian kuat. Mereka masih
asing terhadap diskursus hak. Istilah kewajiban jauh lebih akrab dalam dinamika
kebudayaan mereka. Coba Anda cari bukti-bukti akan hal ini dalam buku-buku
sejarah perihal kehidupan kerajaan-kerajaan nusantara. Walaupun demikian dalam
sejarah Jawa selalu saja muncul pemberontakan-pemberontakan petani,
perjuangan-perjuangan kemerdekaan atau protes-protes dari wong cilik melawan
petinggi-petinggi mereka maupun tuantuan kolonial (Hardiman, 2011). Aksi-aksi
perjuangan emansipatoris itu antara lain didokumentasikan Multatuli dalam buku
Max Havelaar yang jelas lahir dari tuntutan hak-hak mereka. Tak hanya itu, ide
tentang Ratu Adil
turut memengaruhi lahirnya gerakan-gerakan yang bercorak utopis. Perjuangan
melawan imperialisme adalah bukti nyata bahwa sejarah kebudayaan kita tidak
hanya berkutat pada
Guna merealisasikan
kewajiban warga negara, negara mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan
yang mengikat warga negara dan menjadi kewajiban warga negara untuk
memenuhinya. Salah satu contoh kewajiban warga negara terpenting saat ini
adalah kewajiban membayar pajak (Pasal 23A, UUD 1945). Hal ini dikarenakan saat
ini pajak merupakan sumber penerimaan negara terbesar dalam membiayai
pengeluaran negara dan pembangunan. Tanpa adanya sumber pendapatan pajak yang
besar maka pembiayaan pengeluaran negara akan terhambat. Pajak menyumbang
sekitar 74,63 % pendapatan negara. Jadi membayar pajak adalah contoh kewajiban
warga negara yang nyata di era pembangunan seperti sekarang ini. Dengan
masuknya pendapatan pajak dari warga negara maka pemerintah negara juga akan
mampu memenuhi hak warga negara yakni hak mendapatkan penghidupan yang
layak.ranah kewajiban an sich. Para pejuang kemerdekaan melawan kaum penjajah tak
lain karena hak-hak pribumi dirampas dan dijarah. Situasi perjuangan merebut
kemerdekaan yang berpanta rei, sambung menyambung dan tanpa henti, sejak
perjuangan yang bersifat kedaerahan, dilanjutkan perjuangan menggunakan
organisasi modern, dan akhirnya perang kemerdekaan memungkinkan kita sekarang
ini lebih paham akan budaya hak daripada kewajiban. Akibatnya tumbuhlah
mentalitas yang gemar menuntut hak dan jika perlu dilakukan dengan berbagai
cara termasuk dengan kekerasan, akan tetapi ketika dituntut untuk menunaikan
kewajiban malah tidak mau. Dalam sosiologi konsep ini dikenal dengan istilah
“strong sense of entitlement”.
Menanya Alasan
Mengapa Diperlukan Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga Negara Indonesia
Pada uraian di atas
Anda telah memperoleh pemahaman bahwa tradisi budaya Indonesia semenjak zaman
kerajaan-kerajaan di Nusantara lebih mengenal konsep kewajiban dibandingkan
konsep hak. Mekanismenya adalah kepatuhan tanpa reserve rakyat terhadap
penguasa dalam hal ini raja atau sultan sebagai bentuk penghambaan secara
total. Keadaan yang sama berlangsung tatkala masa penjajahan di Nusantara di
mana horizon kehidupan politik daerah jajahan mendorong aspek kewajiban sebagai
postulat ide dalam praksis kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Dua
kekuatan inilah yang mengkonstruksi pemikiran rakyat di Nusantara untuk
mengedepankan kewajiban dan dalam batas-batas tertentu melupakan pemerolehan
hak, walaupun pada kenyataannya bersifat temporal karena sebagaimana terekam
dalam Max Havelaar rakyat yang tertindas akhirnya memberontak menuntut hak-hak
mereka.
Menggali Sumber
Historis, Sosiologis, Politik tentang Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan
Warga Negara Indonesia
Sumber Historis
Secara historis perjuangan menegakkan hak asasi manusia terjadi di dunia Barat
(Eropa). Adalah John Locke, seorang filsuf Inggris pada abad ke-17, yang
pertama kali merumuskan adanya hak alamiah (natural rights) yang melekat pada
setiap diri manusia, yaitu hak atas hidup, hak kebebasan, dan hak milik. Coba
Anda pelajari lebih jauh ihwal kontribusi John Locke terhadap perkembangan
demokrasi dan hak asasi manusia. Perkembangan selanjutnya ditandai adanya tiga
peristiwa penting di dunia Barat, yaitu Magna Charta,
Revolusi Amerika, dan
Revolusi Perancis. Anda tentu saja telah mengenal ketiga peristiwa besar
tersebut. Namun agar pemahaman Anda semakin baik, simaklah ulasan singkat dari
ketiga peristiwa tersebut berikut ini. a. Magna Charta (1215) Piagam perjanjian
antara Raja John dari Inggris dengan para bangsawan. Isinya adalah pemberian
jaminan beberapa hak oleh raja kepada para bangsawan beserta keturunannya,
seperti hak untuk tidak dipenjarakan tanpa adanya pemeriksaan pengadilan.
Jaminan itu diberikan sebagai balasan atas bantuan biaya pemerintahan yang
telah diberikan oleh para bangsawan. Sejak saat itu, jaminan hak tersebut
berkembang dan menjadi bagian dari sistem konstitusional Inggris.
Revolusi Amerika (1276) Perang kemerdekaan
rakyat Amerika Serikat melawan penjajahan Inggris disebut Revolusi Amerika.
Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) Amerika Serikat menjadi
negara merdeka tanggal 4 Juli1776 merupakan hasil dari revolusi ini.
Revolusi Prancis
(1789) Revolusi Prancis adalah bentuk perlawanan rakyat Prancis kepada rajanya
sendiri (Louis XVI) yang telah bertindak sewenang-wenang dan absolut.
Declaration des droits de I’homme et du citoyen (Pernyataan Hak-Hak Manusia dan
Warga Negara) dihasilkan oleh Revolusi Prancis. Pernyataan ini memuat tiga hal:
hak atas kebebasan (liberty), kesamaan (egality), dan persaudaraan
(fraternite). Dalam perkembangannya, pemahaman mengenai HAM makin luas. Sejak
permulaan abad ke-20, konsep hak asasi berkembang menjadi empat macam kebebasan
(The Four Freedoms). Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Presiden
Amerika Serikat, Franklin D. Rooselvelt. Keempat macam kebebasan itu meliputi:
a. kebebasan untuk
beragama (freedom of religion),
b. kebebasan untuk
berbicara dan berpendapat (freedom of speech),
c. kebebasan dari
kemelaratan (freedom from want), dan
d. kebebasan dari
ketakutan (freedom from fear).
Sumber Sosiologis
Sumber Politik
Sumber politik yang mendasari dinamika
kewajiban dan hak negara dan warga negara Indonesia adalah proses dan hasil
perubahan UUD NRI 1945 yang terjadi pada era reformasi. Pada awal era reformasi
(pertengahan 1998), muncul berbagai tuntutan reformasi di masyarakat. Tuntutan
tersebut disampaikan oleh berbagai komponen bangsa, terutama oleh mahasiswa dan
pemuda. Masih ingatkan Anda butir-butir yang menjadi tuntutan reformasi itu?
Beberapa tuntutan reformasi itu adalah:
a. mengamandemen UUD
NRI 1945,
b. penghapusan
doktrin Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI),
c. menegakkan
supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN),
d. melakukan
desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah,
e. (otonomi daerah),
f. mewujudkan
kebebasan pers,
g. mewujudkan
kehidupan demokrasi. Mari kita fokuskan perhatian pada tuntutan untuk
mengamandemen UUD NRI 1945 karena amat berkaitan dengan dinamika penghormatan
dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Adanya tuntutan tersebut
didasarkan pada pandangan bahwa UUD NRI 1945 belum cukup memuat landasan bagi
kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan
HAM.Akhir-akhir ini kita menyaksikan berbagai gejolak dalam masyarakat yang
sangat memprihatinkan, yakni munculnya karakter buruk yang ditandai kondisi
kehidupan sosial budaya kita yang berubah sedemikian drastis dan fantastis.
Bangsa yang sebelumnya dikenal penyabar, ramah, penuh sopan santun, dan pandai
berbasa-basi sekonyong-konyong menjadi pemarah, suka mencaci, pendendam, perang
antar kampung dan suku dengan tingkat kekejaman yang sangat biadab. Bahkan yang
lebih tragis, anakanak kita yang masih duduk di bangku sekolah pun sudah dapat
saling menyakiti. Bagaimana kita dapat memahami situasi semacam ini? Situasi
yang bergolak serupa ini dapat dijelaskan secara sosiologis karena ini memiliki
kaitan dengan struktur sosial dan sistem budaya yang telah terbangun pada masa
yang lalu. Mencoba membaca situasi pasca reformasi sekarang ini terdapat
beberapa gejala sosiologis fundamental yang menjadi sumber terjadinya berbagai
gejolak dalam masyarakat kita (Wirutomo, 2001). Pertama, suatu kenyataan yang memprihatinkan
bahwa setelah tumbangnya struktur kekuasaan “otokrasi” yang dimainkan Rezim
Orde Baru ternyata bukan demokrasi yang kita peroleh melainkan oligarki di mana
kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat
(demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum,
informasi, pendidikan, dan sebagainya). Kedua, sumber terjadinya berbagai
gejolak dalam masyarakat kita saat ini adalah akibat munculnya kebencian sosial
budaya terselubung (sociocultural animosity). Gejala ini muncul dan semakin
menjadi-jadi pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Ketika rezim Orde Baru berhasil
dilengserkan, pola konflik di Indonesia ternyata bukan hanya terjadi antara
pendukung fanatik Orde Baru dengan pendukung Reformasi, tetapi justru meluas
menjadi konflik antarsuku, antarumat beragama, kelas sosial, kampung, dan
sebagainya. Sifatnya pun bukan vertikal antara kelas atas dengan kelas bawah
tetapi justru lebih sering horizontal, antarsesama rakyat kecil,
Membangun Argumen
tentang Dinamika dan Tantangan Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga
Negara
turan Dasar Ihwal
Pendidikan dan Kebudayaan, Serta Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Ketentuan mengenai hak warga negara di bidang
pendidikan semula diatur dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD NRI 1945. Setelah
perubahan UUD NRI 1945, ketentuannya tetap diatur dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD
NRI 1945, namun Kesenjangan budaya sudah diprediksi oleh William F. Ogburn
(seorang ahli sosiologi ternama), bahwa perubahan kebudayaan material lebih
cepat dibandingkan dengan perubahan kebudayaan non material (sikap, perilaku,
dan kebiasaan). Akibatnya akan terjadi kesenjangan budaya seperti diungkapkan
sebelumnya. Oleh karena itu, budaya bangsa dan setiap orang Indonesia harus
disiapkan untuk menyongsong era atau zaman kemajuan dan kecanggihan IPTEK
tersebut. Negara juga wajib memajukan kebudayaan nasional. Semula ketentuan
mengenai kebudayaan diatur dalam Pasal 32 UUD NRI 1945 tanpa ayat. Setelah
perubahan UUD NRI 1945 ketentuan tersebut masih diatur dalam Pasal 32 UUD NRI
1945 namun dengan dua ayat. Perhatikanlah perubahannya berikut ini. Rumusan
naskah asli: Pasal 32: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”.
Rumusan perubahan: Pasal 32, (1) “Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
Aturan Dasar Ihwal
Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial
Bagaimana Ketentuan
Mengenai Perekonomian Nasional diatur dalam UUD NRI Tahun 1945? Sebelum diubah,
ketentuan ini diatur dalam Bab XIV dengan judul Kesejahteraan Sosial dan
terdiri atas 2 pasal, yaitu Pasal 33 dengan 3 ayat dan Pasal 34 tanpa ayat.
Setelah perubahan UUD NRI 1945, judul bab menjadi Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial, terdiri atas dua pasal, yaitu Pasal 33 dengan 5 ayat dan
Pasal 34 dengan 4 ayat. Ambillah naskah UUD NRI 1945 dan bacalah dengan seksama
pasal-pasal yang dimaksud tersebut. Salah satu perubahan penting untuk Pasal 33
terutama dimaksudkan untuk melengkapi aturan yang sudah diatur sebelum
perubahan UUD NRI 1945, sebagai berikut:
a. Pasal 33 Ayat (1)
UUD NRI 1945: menegaskan asas kekeluargaan;
b. Pasal 33 Ayat (2)
UUD NRI 1945: menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara;
c. Pasal 33 Ayat (3)
UUD NRI 1945: menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya harus dikuasai negara.
Adapun ketentuan baru
yang tercantum dalam Pasal 33 Ayat (4) UUD NRI 1945 menegaskan tentang
prinsip-prinsip perekonomian nasional yang perlu dicantumkan guna melengkapi
ketentuan dalam Pasal 33 Ayat (1), (2), dan (3) UUD NRI 1945. Mari kita
bicarakan terlebih dahulu mengenai ketentuan-ketentuan mengenai perekonomian
nasional yang sudah ada sebelum perubahan UUD NRI 1945.
Aturan Dasar Ihwal
Usaha Pertahanan dan Keamanan Negara
Semula ketentuan
tentang pertahanan negara menggunakan konsep pembelaan terhadap negara [Pasal
30 Ayat (1) UUD NRI 1945]. Namun setelah perubahan UUD NRI 1945 konsep
pembelaan negara dipindahkan menjadi Pasal 27 Ayat (3) dengan sedikit perubahan
redaksional. Setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945, ketentuan mengenai hak dan
kewajiban dalam usaha pertahanan dan keamanan negara [Pasal 30 Ayat (1) UUD NRI
1945] merupakan penerapan dari ketentuan Pasal 27 Ayat (3) UUD NRI 1945.
Mengapa demikian? Karena upaya membela negara mengandung pengertian yang umum.
Pertanyaannya adalah bagaimana penerapannya? Penerapannya adalah dengan
memberikan hak dan kewajiban kepada warga negara dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara. Bagaimana usaha pertahanan dan keamanan negara dilakukan?
Pasal 30 Ayat (2) UUD NRI 1945 menegaskan sebagai berikut: “Usaha pertahanan
dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat
semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, sebagai komponen utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung”.
Dipilihnya sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) dilatarbelakangi
oleh pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri. Pengalaman yang bagaimana
yang melatarbelakangi dipilihnya Sishankamrata itu? Mari kita melakukan kilas
balik sejarah (flash back) pada salah satu faktor penting suksesnya revolusi
kemerdekaan tahun 1945 dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang terletak
pada bersatu-padunya kekuatan rakyat, kekuatan militer, dan kepolisian. Dalam
perkembangannya kemudian, bersatu-padunya kekuatan itu dirumuskan dalam sebuah
sistem pertahanan dan keamanan negara yang disebut sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta.
Dari rumusan Pasal 31
Ayat (3) UUD NRI 1945 juga terdapat konsep fungsi negara, dalam hal ini
pemerintah, yakni mengusahakan dan sekaligus menyelenggarakan sistem pendidikan
nasional. Jika kita menengok fungsifungsi negara (function of the state) dalam
lingkup pembangunan negara (state-building) cakupannya meliputi hal-hal berikut
ini.
a. Fungsi minimal:
melengkapi sarana dan prasarana umum yang memadai, seperti pertahanan dan
keamanan, hukum, kesehatan, dan keadilan.
b. Fungsi madya:
menangani masalah-masalah eksternalitas, seperti pendidikan, lingkungan, dan
monopoli.
c. Fungsi aktivis:
menetapkan kebijakan industrial dan redistribusi kekayaan. Berdasarkan
klasifikasi fungsi negara tersebut, penyelenggaraan pendidikan termasuk fungsi
madya dari negara. Artinya, walaupun bukan merupakan pelaksanaan fungsi
tertinggi dari negara, penyelenggaraan pendidikan juga sudah lebih dari hanya
sekedar pelaksanaan fungsi minimal negara. Oleh karena itu, penyelenggaraan
pendidikan sangatlah penting
HAKIKAT,
INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKAN PANCASILA DAN UUD
NRI 1945
Menelusuri Konsep dan
Urgensi Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila
Apa Demokrasi Itu?
Apakah demokrasi itu? Cobalah kemukakan pengetahuan awal Anda tentang
demokrasi. Gagasan tentang demokrasi secara sederhana seringkali nampak dalam
ungkapan, cerita atau mitos. Misalnya, orang Minangkabau membanggakan tradisi
demokrasi mereka, yang dinyatakan dalam ungkapan: “Bulat air di pembuluh, bulat
kata di mufakat”. Orang Jawa, secara samar-samar menunjukkan tentang gagasan
demokrasi dengan mengacu kebiasaan rakyat Jawa untuk pepe (berjemur) di muka
keraton bila mereka ingin mengungkapkan persoalan hidupnya kepada Raja. Ada
juga yang mencoba menjelaskan dari cerita wayang, bahwa Bima atau Werkudara
memakai mahkota yang dinamai Gelung Mangkara Unggul, artinya sanggul (dandanan
rambut) yang tinggi di belakang. Hal ini diberi makna rakyat yang di belakang
itu sebenarnya unggul atau tinggi, artinya: berkuasa (Bintoro, 2006). Dari
kutipan pengertian tersebut tampak bahwa kata demokrasi merujuk kepada konsep
kehidupan negara atau masyarakat di mana warganegara dewasa turut
berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih;
pemerintahannya mendorong dan menjamin kemerdekaan berbicara, beragama,
berpendapat, berserikat, menegakkan ”rule of law”, adanya pemerintahan
mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok minoritas; dan masyarakat yang
warga negaranya saling memberi perlakuan yang sama. Pengertian tersebut pada
dasarnya merujuk kepada ucapan Abraham Lincoln mantan Presiden Amerika Serikat,
yang menyatakan bahwa “demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat” atau “the government from the people, by the people,
and for the people”. Karena “people” yang menjadi pusatnya, demokrasi oleh
Pabottinggi (2002) disikapi sebagai pemerintahan yang memiliki paradigma
“otocentricity” atau otosentrisitas yakni rakyatlah (people) yang harus menjadi
kriteria dasar demokrasi. Sebagai suatu konsep demokrasi diterima sebagai
“…seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, yang juga mencakup
seperangkat praktik dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan
sering berliku-liku. Pendeknya, demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan”
(USIS, 1995).
Tiga Tradisi
Pemikiran Politik Demokrasi
Secara konseptual,
seperti dikemukakan oleh Carlos Alberto Torres (1998) demokrasi dapat dilihat
dari tiga tradisi pemikiran politik, yakni “classical Aristotelian theory,
medieval theory, contemporary doctrine”. Dalam tradisi pemikiran Aristotelian
demokrasi merupakan salah satu bentuk pemerintahan, yakni “…the government of
all citizens who enjoy the benefits of citizenship”, atau pemerintahan oleh
seluruh warganegara yang memenuhi syarat kewarganegaraan. Sementara itu dalam
tradisi “medieval theory” yang pada dasarnya menerapkan “Roman law” dan konsep
“popular souvereignity” menempatkan “…a foundation for the exercise of power,
leaving the supreme power in the hands of the people”, atau suatu landasan
pelaksanaan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Sedangkan dalam “contemporary
doctrine of democracy”, konsep “republican” dipandang sebagai “…the most
genuinely popular form of government”, atau konsep republik sebagai bentuk
pemerintahan rakyat yang murni. Lebih lanjut, Torres (1998) memandang demokrasi
dapat ditinjau dari dua aspek, yakni di satu pihak adalah “formal democracy”
dan di lain pihak “substantive democracy”. “Formal democracy” menunjuk pada
demokrasi dalam arti sistem pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari dalam
berbagai
Pemikiran tentang
Demokrasi Indonesia
Pada bagian pengantar
telah dikemukakan bahwa suatu negara mempunyai ciri khas dalam pelaksanaan kedaulatan
rakyat atau demokrasinya. Hal ini ditentukan oleh sejarah negara yang
bersangkutan, kebudayaan, pandangan hidup, serta tujuan yang ingin dicapainya.
Negara Indonesia telah mentasbihkan dirinya sebagai negara demokrasi atau
negara yang berkedaulatan rakyat. Tahukah Anda, di mana pernyataan tersebut
dirumuskan? Sebagai negara demokrasi, demokrasi Indonesia memiliki kekhasan.
Apa kekhasan demokrasi Indonesia itu? Menurut Budiardjo dalam buku DasarDasar
Ilmu Politik (2008), demokrasi yang dianut di Indonesia adalah demokrasi yang
berdasarkan Pancasila yang masih terus berkembang dan sifat dan ciri-cirinya
terdapat pelbagai tafsiran dan pandangan. Meskipun demikian tidak dapat
disangkal bahwa nilai-nilai pokok dari demokrasi konstitusional telah cukup tersirat
dalam UUD NRI 1945. Apa itu demokrasi Pancasila dan apa itu demokrasi
konstitusional? Untuk mendalami hal ini, cobalah Anda cari berbagai pendapat
tentang Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Konstitusional. Apakah sebelum muncul
istilah demokrasi Pancasila, bangsa Indonesia sudah memiliki tradisi demokrasi?
Ada baiknya kita ikuti pendapat Drs. Mohammad Hatta yang dikenal sebagai Bapak
Demokrasi Indonesia tentang hal tersebut. Menurut Moh. Hatta, kita sudah
mengenal tradisi demokrasi jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni demokrasi
desa. Demokrasi desa atau desa-demokrasi merupakan demokrasi asli Indonesia,
yang bercirikan tiga hal yakni 1) cita-cita rapat, 2) cita-cita massa protes,
dan 3) cita-cita tolong menolong. Ketiga unsur demokrasi desa tersebut merupakan
dasar pengembangan ke arah demokrasi Indonesia yang modern. Demokrasi Indonesia
yang modern adalah “daulat rakyat” tidakhanya berdaulat dalam bidang politik,
tetapi juga dalam bidang ekonomi dan social
Pentingnya Demokrasi
sebagai Sistem Politik Kenegaraan Modern
Mengapa demokrasi
yang dipilih sebagai jalan bagi bentuk pemerintahan guna mencapai tujuan
bernegara yakni kesejahteraan? Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan, pada
awalnya dimulai dari sejarah Yunani Kuno. Namun demikian demokrasi saat itu
hanya memberikan hak berpartisipasi politik pada minoritas kaum laki-laki
dewasa. Demokrasi di mata para pemikir Yunani Kuno seperti Plato dan
Aristoteles bukanlah bentuk pemerintahan yang ideal. Mereka menilai demokrasi
sebagai pemerintahan oleh orang miskin atau pemerintahan oleh orang dungu.
Demokrasi Yunani Kuno itu selanjutnya tenggelam oleh kemunculan pemerintahan
model Kekaisaran Romawi dan tumbuhnya negara-negara kerajaan di Eropa sampai
abad ke-17. Namun demikian pada akhir abad ke-17 lahirlah demokrasi “modern”
yang disemai oleh para pemikir Barat seperti Thomas Hobbes, Montesquieu, dan
J.J. Rousseau, bersamaan dengan munculnya konsep negara-bangsa di Eropa.
Menanya Alasan Mengapa Diperlukan Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila
Hingga sekarang ini kita masih menyaksikan sejumlah persoalan tentang kelemahan
praktik demokrasi kita. Beberapa permasalahan tersebut yang sempat muncul di
berbagai media jejaring sosial adalah (1) Buruknya kinerja lembaga perwakilan
dan partai politik; (2) Krisis partisipasi politik rakyat; (3) Munculnya
penguasa di dalam demokrasi; dan 4) Demokrasi saat ini membuang kedaulatan
rakyat. Terjadinya krisis partisipasi politik rakyat disebabkan karena tidak
adanya peluang untuk berpartisipasi atau karena terbatasnya kemampuan untuk
berpartisipasi dalam politik. Secara lebih spesifik penyebab rendahnya
partisipasi politik tersebut adalah: (a) Pendidikan yang rendah menyebabkan
rakyat kurang aktif dalam melaksanakan partisipasi politik; (b) Tingkat ekonomi
rakyat yang rendah; dan (c) Partisipasi politik rakyat
Sumber Nilai yang
Berasal dari Demokrasi Desa
Demokrasi yang
diformulasikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
merupakan fenomena baru bagi Indonesia ketika merdeka. Kerajaan-kerajaan pra-Indonesia
adalah kerajaan-kerajaan feodal yang dikuasai oleh raja-raja autokrat. Akan
tetapi, nilai-nilai demokrasi dalam taraf tertentu sudah berkembang dalam
budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit politik terkecil,
seperti desa di Jawa, nagari di Sumatra Barat, dan banjar di Bali (Latif,
2011). Mengenai adanya anasir demokrasi dalam tradisi desa kita akan meminjam
dua macam analisis berikut. Pertama, paham kedaulatan rakyat sebenarnya sudah
tumbuh sejak lama di Nusantara. Di alam Minangkabau, misalnya pada abad XIV
sampai XV kekuasaan raja dibatasi oleh ketundukannya pada keadilan dan
kepatutan. Ada istilah yang cukup tekenal pada masa itu bahwa “Rakyat ber-raja
pada Penghulu, Penghulu ber-raja pada Mufakat, dan Mufakat ber-raja pada alur dan
patut”. Dengan demikian, raja sejati di dalam kultur Minangkabau ada pada alur
(logika) dan patut (keadilan). Alur dan patutlah yang menjadi pemutus terakhir
sehingga keputusan seorang raja akan ditolak apabila bertentangan dengan akal
sehat dan prinsip-prinsip keadilan (Malaka, 2005).
Sumber Nilai yang
Berasal dari Islam
Nilai demokratis yang
berasal dari Islam bersumber dari akar teologisnya. Inti dari keyakinan Islam
adalah pengakuan pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid, Monoteisme). Dalam
keyakinan ini, hanya Tuhanlah satu-satunya wujud yang pasti. Semua selain
Tuhan, bersifat nisbi belaka. Konsekuensinya, semua bentuk pengaturan hidup
sosial manusia yang melahirkan kekuasaan mutlak, dinilai bertentangan dengan
jiwa Tauhid (Latif, 2011). Pengaturan hidup dengan menciptakan kekuasaan mutlak
pada sesama manusia merupakan hal yang tidak adil dan tidak beradab. Sikap
pasrah kepada Tuhan, yang memutlakkan Tuhan dan tidak pada sesuatu yang lain,
menghendaki tatanan sosial terbuka, adil, dan demokratis (Madjid, 1992)
Kelanjutan logis dari prinsip Tauhid adalah paham persamaan (kesederajatan)
manusia di hadapan Tuhan, yang melarang adanya perendahan martabat dan
pemaksaan kehendak antarsesama manusia. Bahkan seorang utusan Tuhan tidak
berhak melakukan pemaksaan itu. Seorang utusan Tuhan mendapat tugas hanya untuk
menyampaikan kebenaran (tabligh) kepada umat manusia, bukan untuk memaksakan
kebenaran kepada mereka. Dengan prinsip persamaan manusia di hadapan Tuhan itu,
tiap-tiap manusia dimuliakan kehidupan, kehormatan, hak-hak, dan kebebasannya
yang dengan kebebasan pribadinya itu manusia menjadi makhluk moral yang harus
bertanggung jawab atas pilian-pilihannya. Dengan prinsip persamaan, manusia
juga didorong menjadi makhluk social yang menjalin kerjasama dan persaudaraan
untuk mengatasi kesenjangan dan meningkatkan mutu kehidupan bersama (Latif,
2011).
Sumber Nilai yang
Berasal dari Barat
Masyarakat Barat
(Eropa) mempunyai akar demokrasi yang panjang. Pusat pertumbuhan demokrasi
terpenting di Yunani adalah kota Athena, yang sering dirujuk sebagai contoh
pelaksanaan demokrasi partisipatif dalam negara-kota sekitar abad ke-5 SM.
Selanjutnya muncul pula praktik pemerintahan sejenis di Romawi, tepatnya di
kota Roma (Italia), yakni sistem pemerintahan republik. Model pemerintahan
demokratis model Athena dan Roma ini kemudian menyebar ke kotakota lain
sekitarnya, seperti Florence dan Venice. Model demokrasi ini mengalami
kemunduran sejak kejatuhan Imperium Romawi sekitar abad ke-5 M, bangkit
sebentar di beberapa kota di Italia sekitar abad ke-11 M kemudian lenyap pada
akhir “zaman pertengahan” Eropa. Setidaknya sejak petengahan 1300 M, karena
kemunduran ekonomi, korupsi dan peperangan, pemerintahan demokratis di Eropa
digantikan oleh sistem pemerintahan otoriter (Dahl, 1992).
Membangun Argumen
tentang Dinamika dan Tantangan Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila
Jika Anda ditanya di
manakah kita dapat melihat postur demokrasi kita secara normatif? Tentu saja
jawabannya adalah dalam konstitusi kita. Sepanjang sejarah Indonesia pernah
mengalami dinamika ketatanegaraan seiring dengan berubahnya konstitusi yang
dimulai sejak berlakunya UUD 1945 (I), Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, kembali
ke UUD 1945 (II) dan akhirnya kita telah berhasil mengamandemen UUD 1945
sebanyak empat kali. Ihwal postur demokrasi kita dewasa ini dapat kita amati
dari fungsi dan peran lembaga permusyawaratan dan perwakilan rakyat menurut UUD
NRI Tahun 1945, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Untuk memahami dinamika dan
tantangan demokrasi kita itu, Anda diminta untuk membandingkan aturan dasar
dalam naskah asli UUD 1945 dan bagaimana perubahannya berkaitan dengan MPR,
DPR, dan DPD (Asshiddiqie dkk, 2008).
1.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat
2.
Dewan
Perwakilan Rakyat
3.
Dewan
Perwakilan Daerah
Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Demokrasi
Pancasila
1.
Kehidupan
Demokratis yang Bagaimana yang Kita Kembangkan?
Demokrasi itu selain
memiliki sifat yang universal, yakni diakui oleh seluruh bangsa yang beradab di
seluruh dunia, juga memiliki sifat yang khas dari masing-masing negara. Sifat
khas demokrasi di setiap negara biasanya tergantung ideologi masing-masing.
Demokrasi kita pun selain memiliki sifat yang universal, juga memiliki sifat
khas sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sebagai
demokrasi yang berakar pada budaya bangsa, kehidupan demokratis yang kita
kembangkan harus mengacu pada landasan idiil Pancasila dan landasan
konstitusional UD NRI Tahun 1945. Berikut ini diketengahkan “Sepuluh Pilar
Demokrasi Pancasila” yang dipesankan oleh para pembentuk negara RI, sebagaimana
diletakkan di dalam UUD NRI Tahun 1945 (Sanusi, 1998).
Mengapa Kehidupan
yang Demokratis Itu Penting?
Pada hakikatnya
sebuah negara dapat disebut sebagai negara yang demokratis, apabila di dalam
pemerintahan tersebut rakyat memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam
pembuatan keputusan, memiliki
persamaan di muka
hukum, dan memperoleh pendapatan yang layak karena terjadi distribusi pendapatan
yang adil. Mari kita uraikan makna masing-masing.
a. Partisipasi dalam
Pembuatan Keputusan Dalam negara yang menganut sistem pemerintahan, demokrasi
kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan pemerintahan dijalankan
berdasarkan kehendak rakyat. Aspirasi dan kemauan rakyat harus dipenuhi dan
pemerintahan dijalankan berdasarkan konstitusi yang merupakan arah dan pedoman
dalam melaksanakan hidup bernegara. Para pembuat kebijakan memperhatikan
seluruh aspirasi rakyat yang berkembang. Kebijakan yang dikeluarkan harus dapat
mewakili berbagai keinginan masyarakat yang beragam. Sebagai contoh ketika
masyarakat kota tertentu resah dengan semakin tercemarnya udara oleh asap rokok
yang berasal dari para perokok, maka pemerintah kota mengeluarkan peraturan daerah
tentang larangan merokok di tempat umum.
b. Persamaan
Kedudukan di Depan Hukum Seiring dengan adanya tuntutan agar pemerintah harus
berjalan baik dan dapat mengayomi rakyat dibutuhkan adanya hukum. Hukum itu
mengatur bagaimana seharusnya penguasa bertindak, bagaimana hak dan kewajiban
dari penguasa dan juga rakyatnya. Semua rakyat memiliki kedudukan yang sama di
depan hukum. Artinya, hukum harus dijalankan secara adil dan benar. Hukum tidak
boleh pandang bulu. Siapa saja yang bersalah dihukum sesuai ketentuan yang
berlaku. Untuk menciptakan hal itu harus ditunjang dengan adanya aparat penegak
hukum yang tegas dan bijaksana, bebas dari pengaruh pemerintahan yang berkuasa,
dan berani menghukum siapa saja yang bersalah.
c. Distribusi
Pendapatan Secara Adil Dalam negara demokrasi, semua bidang dijalankan dengan
berdasarkan prinsip keadilan bersama dan tidak berat sebelah, termasuk di dalam
bidang ekonomi. Semua warga negara berhak memperoleh pendapatan yang layak.
Pemerintah wajib memberikan bantuan kepada fakir dan miskin yang berpendapatan
rendah. Akhir-akhir ini Pemerintah menjalankan program pemberian bantuan tunai
langsung, hal tersebut dilakukan dalam upaya membantu langsung para fakir
miskin. Pada kesempatan lain,
Bagaimana Penerapan
Demokrasi dalam Pemilihan Pemimpin Politik dan Pejabat Negara?
Seorang wanita tua
menghadap Sultan Sulaiman al-Qanuni untuk mengadu bahwa tentara sultan mencuri
ternak dombanya ketika dia sedang tidur. Setelah mendengar pengaduan itu,
Sultan Sulaiman berkata kepada Wanita itu, “Seharusnya kamu menjaga ternakmu
dan jangan tidur”. Mendengar perkataan tersebut wanita tua itu mejawab, “Saya
mengira baginda menjaga dan melindungi kami sehingga aku tidur dengan aman”
(Hikmah Dalam Humor, Kisah, dan Pepatah, 1998). Kisah di atas menunjukkan
contoh pemimpin yang lemah, yakni pemimpin yang tidak mampu melindungi
rakyatnya. Seorang pemimpin memang harus yang memiliki kemampuan memadai,
sehingga ia mampu melindungi dan mengayomi rakyatnya dengan baik. Oleh karena
itu, seorang pemimpin harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Berdasarkan sistem
demokrasi yang kita anut seorang pemimpin itu harus beriman dan bertawa,
bermoral, berilmu, terampil, dan demokratis. Bacalah dengan seksama, sebuah
kisah tentang bagaimana karakter seorang pemimpin
Bagi kita yang
terpenting adalah mampu mengambil hikmah dari sejumlah kejadian yang menimpa
para pemimpin yang lalim dan tidak bermoral itu. Sejarah mencatat semua
pemimpin yang zalim dan tidak bermoral tidak mendatangkan kesejahteraan bagi
rakyatnya. Sedang ia sendiri di akhir hayatnya memperoleh kehinaan dan derita.
Amangkurat I, misalnya meninggal di tempat pelarian dengan amat mengenaskan.
Raja Louis XVI raja yang amat “tiran” dari Prancis, mati di-guillotine (pisau
pemotong hewan) oleh massa, Adolf Hitler seorang diktator dari Jerman meninggal
dengan cara meminum racun. Oleh karena itu, tidak ada guna dan manfaatnya sama
sekali dari seorang pemimpin yang demikian itu. Jadilah pemimpin yang bermoral,
berakhlak, dan berbudi pekerti luhur yang dapat memberi kemaslahatan bagi
rakyat. Syarat lain bagi seorang pemimpin adalah berilmu, terampil, dan
demokratis.
Belum ada Komentar untuk "Pendidikan Kewarganegaraan"
Posting Komentar